
Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh
sebagian kaum Muslimin, bahkan perbuatan syirik yang dilakukan oleh
orang-orang di zaman Jahiliyah -sebelum datangnya Islam- masih juga
sering terjadi di zaman modern ini.
Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu berkata: “Perbuatan syirik yang terjadi di jaman Jahiliyah (juga)
terjadi pada (jaman) sekarang ini:
1- Dahulu orang-orang musyrik
(di zaman Jahiliyah) meyakini bahwa Allâh Dialah Yang Maha Pencipta dan
Pemberi rezeki (bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan
itu) mereka berdoa (meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang
mereka anggap shaleh dan dekat kepada Allâh Azza wa Jalla) dalam bentuk
berhala-berhala, sebagai perantara untuk (semakin) mendekatkan mereka
kepada Allâh (menurut persangkaan sesat mereka).
Maka Allâh
tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa)
tersebut, bahkan Allâh Azza wa Jalla menyatakan kekafiran mereka dalam
firman-Nya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ
يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ
لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allâh (berkata): “Kami tidak menyembah mereka
(sembahan-sembahan kami) melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allâh akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan.
Sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
pendusta dan sangat besar kekafirannya”. [az-Zumar/39:3]
Allâh
Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan
keberadaan perantara dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah maha dekat”. [al-Baqarah/2:186]
Kita saksikan di zaman sekarang ini kebanyakan kaum Muslimin berdoa
(meminta/menyeru) kepada wali-wali dalam wujud (penyembahan terhadap)
kuburan mereka, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh
Azza wa Jalla. Berhala-berhala (di zaman Jahiliyah) merupakan wujud
dari para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh dan dekat kepada
Allâh Azza wa Jalla) yang telah wafat menurut pandangan orang-orang
musyrik (di zaman Jahiliyah).
Sedangkan kuburan adalah wujud dari
para wali yang telah meninggal menurut pandangan orang-orang yang
melakukan perbuatan Jahiliyah (di zaman sekarang), meskipun harus
diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan yang ditimbulkan) dari
(penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah (penyembahan)
berhala!
2- Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) selalu
berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla semata di waktu-waktu sulit dan
sempit, kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ
يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan
kapal mereka berdoa kepada Allâh dengan memurnikan agama bagi-Nya;
kemudian tatkala Allâh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba
mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”. [al-‘Ankabût/29:65]
Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk berdoa kepada
selain Allâh dalam waktu sempit dan lapang (sebagaimana yang sering
dilakukan oleh banyak kaum Muslimin di zaman ini)?[8].
CONTOH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERSEBAR DI MASYARAKAT [9]
1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh
Subhanahu wa Ta’ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh
yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan
(hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan
kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti
mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar,
thawaf, shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ
وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah:
“Sesungguhnya
shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb
semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [al-An’âm/6:162-163]
2-
Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan
sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan
kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Barangsiapa yang mendatangi
dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia
telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut dalam firman-Nya yang artinya:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ
سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ
بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا
لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ
أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa
yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan
(sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu
(ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun,
kecuali dengan izin Allâh.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang
memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat.
Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang
menukarnya (kitab Allâh) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan
di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri
dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [al-Baqarah/2:102]
Hal
ini dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut
mengaku-ngaku mengetahui urusan gaib, padahal ini merupakan kekhususan
bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “
Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka
akan dibangkitkan”. [an-Naml/27:65] Selain itu, mereka selalu
bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek sihir
dan perdukunan. Padahal para jin dan setan tersebut tidak mau membantu
mereka dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik
dan kafir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, misalnya mempersembahkan
hewan kurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’ân
dengan berbagai macam cara, atau cara-cara lainnya [11]
. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا “
Dan
bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin
itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. [al-Jin/72:6] 3-
Berlebihan
dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang
melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku seperti
orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi
Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka
katakanlah: hamba Allâh dan rasul-Nya”. [12]
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin
ikut memiliki sebagian dari sifat-sifat khusus yang dimiliki Allâh Azza
wa Jalla, seperti mengetahui ilmu gaib, memberikan manfaat atau mudharat
bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-lain. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا
ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا
إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku
tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku
mengetahui yang gaib, tentulah aku akan melakukan kebaikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman”. [al-A’râf/7:188]
Di antara Bentuk
Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh
Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut: • Meyakini bahwa
beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. • Memohon pengampunan dosa dan
masuk surga kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena semua
perkara ini adalah khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak ada
seorang makhluk pun yang ikut serta memilikinya. • Melakukan safar
(perjalanan jauh) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
yang melarang perbuatan ini dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah)
kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil
Aqsha”. [13]
Semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan
perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh
sejumlah imam ahli hadits. Adapun melakukan perjalanan untuk melakukan
shalat di Masjid Nabawi maka ini adalah perkara yang dianjurkan dalam
Islam berdasarkan hadits yang shahih.[14] • Meyakini bahwa keutamaan
Masjid Nabawi disebabkan adanya kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, karena
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan keutamaan
shalat di Masjid Nabawi sebelum beliau wafat. 4- Berlebihan dan
melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh yang
terwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: •
Memasukkan
kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya
kuburan tersebut. Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (kerena) mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” [15]
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu
menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh (di antara) mereka
sebagai masjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai kaum
Muslimin) menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang
kalian dari perrbuatan tersebut” [16] • Membangun (meninggikan) kuburan
dan mengapur (mengecat)nya. Dalam hadits yang shahih, Jâbir bin
‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan
membangun di atasnya”.[17]
Perbuatan-perbuatan ini dilarang
karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik
(menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan orang-orang shaleh
tersebut). 5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang
Muslim adalah menggantungkan jimat -baik berupa benang, manik-manik atau
benda lainnya- pada leher, tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan
meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang
kebaikan. Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya: “Barangsiapa yang
menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat syirik”. [18]
6-
Demikian juga perbuatan tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai
sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh Subhanahu
wa Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang berpengaruh. Perbuatan
ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabda beliau yang artinya: “(Melakukan) ath-thiyarah adalah
kesyirikan”. [19]
7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan
nama selain Allâh Azza wa Jalla. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa bersumpah dengan (nama)
selain Allâh, sungguh dia telah berbuat syirik”.[20]
NASIHAT DAN PENUTUP
Demikianlah beberapa contoh praktek perbuatan syirik yang terjadi di
masyarakat. Hendaknya fakta tersebut menjadikan seorang Muslim selalu
memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan terjerumus ke
dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya dan
keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang
hidup disekitarnya? Kalau Nabi Ibrâhim Alaihissallam saja sampai
mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terjerumus dalam perbuatan
menyembah kepada selain Allâh (syirik), dengan berdoa kepada Allah
‘jauhkanlah diriku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala’
(Ibrâhim:35),
padahal beliau Alaihissallam adalah nabi mulia
yang merupakan panutan dalam kekuatan iman, kekokohan tauhid, serta
ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya, maka sudah tentu kita
lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri dan keluarga
kita, dengan semakin bersungguh-bersungguh berdoa dan meminta
perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan dari semua perbuatan tersebut
dan pintu-pintu yang membawa kepadanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengajarkan doa perlindungan dari segala bentuk syirik
kepada Sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu ‘anhu yang
berbunyi :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya
Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari
apa yang tidak aku ketahui (sadari)” [21].
Juga tentu saja,
dengan semakin giat mengusahan langkah-langkah untuk kian memantapkan
akidah tauhid dalam diri kita yang terwujud dalam meningkatnya semangat
mempelajari ilmu tentang tauhid dan keimanan, serta berusaha semaksimal
mungkin mempraktekkan dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wallâhu a’lam
8]. Al-‘Aqîdatul Islâmiyyah hlm. 46
[9].
Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhâlafât fit Tauhîd, Syaikh ‘Abdul
‘Aziz ar-Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian
[10]. HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387
[11]. Hum Laisu Bisyai hlm. 4
[12]. HR. al-Bukhâri no. 3261
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397
[14]. HR. al-Bukhâri no. 1133 dan Muslim no. 1394
[15]. HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529
[16]. HR. Muslim no. 532
[17]. HR. Muslim (no. 970).
[18]. HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492
[19]. HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no.
3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429 [20]. HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan
at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042 [21]. Hadits shahih
riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.
//
almanhaj.or.id