JANGAN MENGKHAWATIRKAN SESUATU YANG SUDAH ADA KETETAPANNYA

Geopark Ijen | Biosite

Sesungguhnya rezeki kita itu sudah diatur dengan baik oleh Allah ta'ala. Bahkan Nabi mengibaratkannya seperti kematian, yang itu pasti akan datang kepada kita. Maknanya apa? Rezeki itu pasti akan tersampaikan.

Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda :

لو أن ابن آدم هرب من رزقه ‌‏كما يهرب من الموت ‏لأدركه رزقه كما يدركه الموت

“Jika seandainya Anak adam lari dari rizqinya sebagaimana dia lari dari kematian. pasti dia akan menjumpai rizqinya tersebut sebagaimana kematian akan menjemputnya.” [As-Silsilah ash-Shahihah 952].

Maka anggapan yang salah jika seorang hamba sangat khawatir akan rezekinya, yang paling sering terjadi adalah bagi seorang pemuda yang ingin menikah, orang tua akan sangat sulit mengizinkan karena khawatir bagaimana akan rezekinya. Kewajiban kita hanyalah ikhtiar dan tawakal, selebihnya semua sudah ada ketetapannya, maka bersyukur akan menambah nikmat kita. Allah ta'ala berfirman :

"Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya." (QS. Ath Tholaq: ​​3).

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang". (HR. Ahmad (1/30).

Maka sikap kita terhadap rezeki adalah terus ikhtiar dan tawakal dan jangan sekali-kali mengkhawatirkan secara berlebihan, karena itu semua sudah ada yang mengaturnya.

========================
Ikuti akun media sosial Merasi Mengaji:
📸 Instagram: @merasimengajiofficial
💾 Telegram: Merasi Mengaji
🖥Facebook: Merasi Mengaji
📱WhatsApp: Majelis Ta'lim As-Sunnah

Share:

HUKUM MENGGIBAHI AHLUL BID'AH

  Berdampingan dengan Alam, Sejatera Tanpa Merusak Hutan

" Termasuk prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka membenci para pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah, yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, tidak simpatik kepada mereka, tidak berteman dengan mereka, tidak sudi mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk di dalam majelis mereka, tidak berdiskusi atau tukar pikiran dengan mereka, dan tidak mau dialog dengan mereka. "

" Ahlus Sunnah menjaga telinga mereka dari ucapan-ucapan bathil ahlul bid’ah yang terkadang terdengar selintas lalu, kemudian membuat was-was dan merusak. Ahlus Sunnah menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan hawa nafsu mereka serta memperingatkan ummat agar berhati-hati terhadap mereka, dan agar ummat tidak menimba ilmu dari mereka. "

-(kitab Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits, hal. 114-115 no. 161,  juga kitab Hajrul Mub-tadi’ oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, serta kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ oleh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily, dan kitab Ijmaa’ul Ulamaa’ ‘alal Hajr wat Tahdziir min Ahlil Ahwaa’ oleh Khalid bin Dhahawi azh-Zhufairi)

" Ahlus Sunnah tidak memutlakkan satu (jenis) hukuman kepada ahli bid’ah, namun hukumannya bagi seorang pelaku bid’ah yang satu dengan yang lain berbeda sesuai dengan tingkat kebid’ahannya. Antara orang yang bodoh dan orang yang menta’wil tentang perbuatan bid’ahnya berbeda hukumannya dengan orang ‘alim yang menyeru kepada perbuatan bid’ahnya dan yang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, sikap Ahlus Sunnah membedakan cara bermu’amalah antara orang yang menyembunyikan kebid’ahannya dengan orang yang terang-terangan berbuat bid’ah. Begitu juga bermu’amalah antara orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah dengan orang yang tidak mengajak kepada perbuatan bid’ah. "
-(kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih , hal. 184)

Orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah secara terang-terangan harus diingkari perbuatan bid’ahnya, dibenci, di-hajr (diisolasi) dan ummat diperingatkan dari bahayanya, serta ulil amri harus mengambil tindakan untuk menghukum orang tersebut agar ia jera dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab bahaya bid’ah itu merusak hati, akal, agama, harta, dan kehormatan. Ahli bid’ah, mereka semuanya sudah keluar dari jalan yang lurus yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Ada di antara mereka yang keluar dari Islam, ada pula yang hampir keluar dari Islam yang pada akhirnya menghalalkan darah kaum Muslimin.

 HAJR :  adalah sikap Tegas dengan memutuskan hubungan terhadap seseorang (tidak diajak bicara, tidak diberi salam, tidak ada komunikasi dengannya).

Menurut hukum syar’i hajr dibagi menjadi dua,
yaitu hajr mamnu’ (hajr yang dilarang)
dan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan).

Hajr mamnu’ contohnya yaitu menghajr saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari karena masalah pribadi. Hal ini di-bolehkan menurut keperluan dan dibatasi selama 3 hari (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ II/692 no. 13, al-Bukhari no. 6077, Muslim no. 2560 dan lainnya).

Sedangkan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan) adalah hajr yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan baik secara maknawi maupun materi, tidak dibatasi dengan tiga hari yang tujuannya untuk memberikan pelajaran dan peringatan agar pelakunya segera bertaubat kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar. Hajr ini dilakukan kepada orang-orang yang melakukan kesyirikan, kemaksiyatan, kemunkaran, kefasikan dan kebid’ahan. Seperti hajr yang dilaku-kan oleh Nabi  sebagai seorang suami kepada isteri-isterinya selama 40 hari, Ibnu ‘Umar kepada anaknya, Nabi  menghajr tiga Sahabatnya yang tidak ikut dalam perang Tabuk, mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umaiyah al-Waqifi selama 50 hari. -(Diringkas dari al-Hajr fil Kitaab was Sunnah oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar Ibnul Qayyim, th. 1419 H).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kaum Khawarij:

…يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ…

“Mereka (Khawarij) membunuh orang Islam dan membiar-kan penyembah berhala…” -[HR. Al-Bukhari no. 3344, Muslim (no. 1064) dan Abu Dawud (no. 4764), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu]

Bisa jadi kaum penyembah berhala (musyrikin) selamat dari mereka, sedangkan orang yang beriman (muslim) belum tentu selamat dari mereka. Sebagaimana bid’ahnya kaum Khawarij yang menghalalkan ke-hormatan dan darah kaum Muslimin, sebagaimana juga apa yang telah dilakukan oleh Syi’ah dan firqah-firqah sesat (ahlul Bid'ah) yang lainnya.

Bukti Sikap Tegas : pengingkaran dan hajr Salafush Shalih terhadap ahli bid’ah adalah sebagaimana tindakan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ketika menghukum Shabigh bin ‘Asal .

Begitu juga apa yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma kepada orang yang mengingkari Qadar: “Apabila engkau bertemu dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun harus berlepas diri dari Ibnu ‘Umar.” -[ HR. Muslim (no. 8), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), as-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (II/413 no. 901), dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1038).

Begitu juga tindakan para ulama Ahlus Sunnah terhadap tokoh Jahmiyyah, yaitu Jahm bin Shafwan, ia dibunuh karena ia mengingkari Asma’ dan Sifat Allah, dia juga menyatakan Al-Qur-an adalah makhluk, Surga dan Neraka tidak kekal, dan lainnya.
-[kitab Maqaalaat Islaamiyyiin (I/338), Lisaanul Miizaan (II/142), Jahm bin Shaf-wan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz al-Mazini di akhir masa pemerintahan Bani Umayyah]

Ciri-Ciri Ahli Bid’ah :

Ciri-ciri yang dimiliki ahli bid’ah itu sangat jelas dan terang serta mudah diketahui. Allah menyebutkan yang demikian dalam Al-Qur-an, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya dalam beberapa hadits, Salafush Shalih menyebutkan juga tentang ciri-ciri mereka dan begitu pula para ulama yang mengikuti jejak Salafush Shalih, mereka mengingatkan ummat dari ahli bid’ah dan menjelaskan ciri-ciri mereka, agar ummat dapat berhati-hati dan tidak mengikuti jalan-jalan mereka.

Di antara ciri-ciri ahli bid’ah adalah:

1. Mereka jahil (bodoh) tentang tujuan syari’at.
2. Berfirqah-firqah (bergolong-golongan) dan memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslimin.
3. Selalu berdebat dan bertengkar tentang masalah yang telah jelas namun mereka tidak memiliki ilmu tentangnya.
4. Selalu mengikuti hawa nafsu.
5. Mendahulukan akal atas wahyu.
6. Bodoh terhadap Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Selalu mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat.
8. Menentang (menolak) Sunnah dengan Al-Qur-an.
9. Berlebih-lebihan dalam mengagungkan seseorang.
10. Berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah.
11. Menyerupai orang-orang kafir.
12. Memberikan laqab-laqab (gelar-gelar) yang jelek kepada Ahlus Sunnah dan mencela ulama Ahlus Sunnah.
13. Mereka sangat benci kepada Ahlus Sunnah.
14. Mereka memusuhi ulama ahli hadits dan melecehkannya.
15. Mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka tanpa dalil.
16. Mereka selalu meminta pertolongan dan bantuan kepada penguasa untuk mencelakakan Ahlus Sunnah. -(kitab Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahari, ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah , hal. 184-185)

MENGGIBAHI  AHLUL BID'AH

Di karenakan Kaum AHLUL BID'AH telah merusak Ajaran Sunnah Nabi ﷺ, dan bahkan di antara mereka ada yang menyeru manusia pada perbuatan SYIRIK & BID'AH ...
Maka pantas-lah para Ulama sangat tegas menyikapinya.

Bahkan para Ulama Ahlus Sunnah membolehkan menggibahi kaum Ahlul Bid'ah, untuk mengingatkan Ummat akan menjauhi bahaya kerusakan yang di timbulkan akibat Kebid'ahannya.

HUKUM ASAL GHIBAH :  Haram & Terlarang ...
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :
‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”.-(QS. Al-Hujurat : 12).

Ulama, Al-Imam Nawawi –rahimahullah- (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” :

“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :

a. Mengadukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengadukan / melaporkan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili si dzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.

b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.

c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya?. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun -insya Allah-

d. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal :

- Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.

- Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatu apapun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.

- Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.

- Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan

e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent)

f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal, misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.

Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal, diantaranya :

- Dari Aisyah –radhiallohu anha- beliau berkata :
“Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, maka beliau mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”. (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591).

Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat)

- Dan dari beliau juga –radhiallohu anha- bahwa Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda :

“Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita” (HR. Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik.

- Dari Fatimah binti Qois –radhiallohu anha- dia berkata :
“Aku pernah mendatangi Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- mengatakan : “Adapun Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).

Didalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar.

- Dari Aisyah –radhiallohu anha- beliau berkata :
Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda : “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)

2. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi diatas :

“Imam Nawawi –rahimahullah- menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah didalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi –rahimahullah- : Sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- : (ijinkanlah dia, dia itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu.

Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah terjerumus kedalam jaring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan sebutkan kejelekannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para dai-dai/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan kedoknya.”

3. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah (meninggal tahun 399 H) berkata :

“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan akibat buruk mereka. Dan ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)

Sungguh ahlus sunnah telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang dalam menyikapi ahli bid’ah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bid’ah tersebut.

Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:

Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara
Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran
(Keenam hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121)

4. Imam Ahmad –rahimahullah- (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :

“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah” -(kitab Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)

5. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44 :

(Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) –rahimahullah- berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadits.

Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi membicarakan a l-Harits al-A’war.

Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya.

Tidaklah yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para perawi) melainkan untuk menasehati kaum muslimin, tidak mungkin mereka hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin, karena sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bid’ah, sebagian lagi tertuduh memalsukan hadits dan sebagian lagi ada yang banyak kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakekat mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini dan menjelaskan hakekat sebenarnya.

Karena persaksian dalam agama (tentang hadits-pent) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian dalam masalah hak pribadi dan harta”. Ibnu Rajab berkata: “Disini Imam Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/mengunjing para perowi (Jarh wa Ta’dil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk membedakan mana perowi/hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang jika ada maslahatnya -meskipun pribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi”

Klik dan baca >>> https://www.facebook.com/MenebarDakwahSalaf/photos/a.450373288468437.1073741828.418842831621483/800855293420233/?type=3

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 :

Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam :

1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah.

2. Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perowi hadits yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Said serta Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan) hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: “jelaskan hakekat dan jati dirinya!”. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Aku merasa berat jika mengatakan si fulan itu demikian dan demikian (dari kesesatannya-pent). Maka Imam Ahmad mengatakan: “jika engkau diam dan akupun juga diam maka kapan orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan mana yang salah!!!

Seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah atau beribadah tapi menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma kaum muslimin) dijelaskan kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Ada seseorang yang puasa, sholat, I’tikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bid’ah, manakah yang lebih anda sukai? Beliau menjawab : apabila orang itu sholat, i’tikaf maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah ahli bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih afdhol/lebih utama.

Beliau menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah. Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syari’at-Nya dari kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bid’ah) merupakan suatu kewajiban yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin.

Seandainya tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bid’ah) nya mereka maka akan rusaklah agama ini. Dan kerusakan yang ditumbuhkan nya (bid’ah) lebih dahsyat daripada penjajahan. Karena mereka (para penjajah) jika merusak tidaklah merusak hati pertama kali tapi mereka (ahli bid’ah) pertama kali yang dilakukan adalah merusak hati

7. Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan : “Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bid’ah yang extrim dalam bid’ahnya”. Beliau juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”. (ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” 1/140)

8. Ibrahim An-Nakho’i –rahimahullah- mengatakan :
“Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)

9. Sufyan bin Uyainah –rahimahullah- berkata :
“Pengekor hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya” (lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538 )

10. Abu Hamid Al-Ghozali setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyari’atkan yang tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka tidak ada dosa didalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan”. (Ihya’ Ulumuddin 3/152)

Dari ucapan para ulama salaf ahli sunnah diatas telah jelas bagi kita akan bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan menjelaskan/menyikap hakekat kesesatan mereka kepada umat ini.

Bahkan bisa jadi hal tersebut wajib, tapi perlu diketahui bahwa mengghibah ahli bid’ah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini :

Baca dulu Syarat-Syarat nya di bawah ini :

1. Ikhlas karena Allah Ta'ala dan tujuan Utama dari mencela/membantah ahli bid’ah adalah untuk menasehati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya bid’ah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan, seperti karena permusuhan pribadi, hasad terhadap ahli bid’ah dll

2. Pelaku bid’ah tersebut menyebarkan bid’ahnya. Jika pelaku bid’ah tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bid’ahnya maka tidak boleh mengghibahnya. Karena mengghibah pelaku bid’ah (penyesat umat) tujuannya untuk amar ma’ruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalau bid’ahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat

3. Ahli bid’ah tersebut masih hidup dan belum meninggal. Adapun Jika orang tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan pengikut yang memuat dan menyebarkan bid’ahnya maka wajib untuk memperingatkan umat darinya. Membongkar ajaran sesat-nya. Agar ummat terhindar dari kesesatan-nya.

4. Bersikap adil dalam membantah ahli bid’ah, menjelaskan kesesatan/kebid’ahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada. -(kitab “Mauqif ahlis sunnah wal jama’ah min ahlil ahwa’ wal bid’ah” oleh DR. Ibrahim Ar-Ruhaily 2/506-509)

__

Penjelasan  :

Ulama, Asy-Syaikul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” -(kitab Majmu’ Fatawa, 28/35).

Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang terang-terangan menampakkan kebid’ahan.

Imam Al- Auza’i berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi, karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat. Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad (menyimpang, red) di hari kelak” -(kitab Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah, hal. 45).

Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).

Poin ketiga dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada, yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya mempengaruhi orang lain.

Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, atau tidak meninggalkan karya tulis (kitab) yang membahayakan, atau tidak ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah dia mati, harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” -(kitab Al-Furuq, vol. 4, hal. 208).

Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada orang lain. Sebab Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. ” -(QS.Al-Maidah : 8)

Jika melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu tuduhan.” (HR. Muslim)

Membuat tuduhan bohong dilarang oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan. Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, dan tidak lebih dari itu.

Wallahu A'lam.

Nas'alullah assalamah wal afiyah
 

Share:

KEUTAMAAN ISTIGHFAR

Ilmuwan: Hutan Yang Asri Adalah Solusi Atasi Kemiskinan – DW – 16.10.2020

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ: بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ، فَقَالَ لَهُ اللهُ: فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

“Sesungguhnya iblis berkata kepada Rabb-nya: ‘Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, saya akan terus menyesatkan anak Adam selama roh-roh masih bersama mereka.’
Maka Allah berfirman kepadanya: ‘Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, Aku akan terus mengampuni mereka, selama mereka memohon ampun kepada-Ku.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim (Ash-Shahihah no. 14)].

Rasulullah ﷺ bersabda:

طُوْبَى ِلمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيْفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا.

“Sungguh beruntung seseorang yang mendapati pada catatan amalnya istighfar yang banyak” (HR Ibnu Maajah no 3818, dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani rahimahullah).

Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”

“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”  (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

من اتصف بصفة الاستغفار، يسر الله عليه رزقه، وسهل عليه أمره، وحفظ عليه شأنه وقوته.

"Barangsiapa memiliki sifat suka istighfar, maka Allah akan menggampangkan rezekinya, memudahkan urusannya, dan menjaga keadaan dan kekuatannya." (Tafsir Surat Huud ayat ke-52).

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

" الاستغفار يخرج العبد من الفعل المكروه إلى الفعل المحبوب ,
من العمل الناقص الى العمل التام ,
ويرفع العبد من المقام الأدنى إلى الأعلى منه والأكمل ” .

"Istighfar itu mengeluarkan seorang hamba dari perbuatan yang dibenci menuju perbuatan yang cintai, Dari amalan yang kurang manuju amalan yang sempurna, Dan mengangkat derajat seorang hamba dari kedudukan rendah menuju kedudukan yang tinggi dan sempurna." (Majmu' Al Fatawa: 11/696).

Sungguh begitu banyak keutamaan istighfar, maka jangan pernah tinggalkan untuk senantiasa memperbanyak istighfar.

✍ Habibie Quotes, 26/11/21

Kajian Ilmu Islam Muslim dan Muslimah

Share:

CLICK TV DAN RADIO SUNNAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

TV Sunnah

POPULAR


Cari