Oleh:Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
Dalam beragama,ukuran kebenaran bukan dilihat dari banyaknya manusia/banyaknya pengikut.
Ukuran kebenaran dalam beragama adalah engkau mengikuti DALIL (AL QUR'AN DAN SUNNAH DENGAN PEMAHAMAN SALAFUSSHOLEH)
Allah dalam Al Qur'an tidak pernah MEMUJI banyaknya manusia,,yang ada malah CELAAN.
Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [Al-An’am/6:116-117].
✒️TAFSIR RINGKAS
Ketahuilah wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya “jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh,” maksudnya seandainya kamu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengarkan, mengambil dan mengikuti pendapat atau saran-saran mereka, maka mereka akan menyesatkanmu secara nyata dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang haq. Seluruh apa yang mereka ucapkan berasal dari hawa nafsu dan bisikan syaitan.
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.” Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti perkataan-perkataan yang berasal dari prasangka-prasangka mereka. Tidaklah mereka berbicara kecuali hanya dengan mengira-ngira saja dan berdusta.
“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Cukuplah bagimu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka dan Dia-lah yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk.[1]
✒️PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allâh Azza wa Jalla .
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.”[2].
Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allâh Azza wa Jalla . Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang menyimpang, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam agama, amalan-amalan dan ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.”[3].
Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh kebanyakan manusia sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.” Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka. Janganlah kamu katakan, ‘Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?”[4]
Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah,, beliau pernah mengatakan, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).”[5].
✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, di antaranya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya- [Yûsuf/12:103]
Begitu juga firman Allâh:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain). [Yûsuf/12:106]
Dan juga firman-Nya:
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya) [Al-Isra’/17:89].
Dan juga firman-Nya:
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik [Al-A’râf/7:102].
Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla mensifati sebagian besar manusia di muka bumi ini dengan sifat: sesat, kafir (ingkar), syirik dan fasik, serta tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla.
✒️TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK
Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya satu atau dua orang, karena kebanyakan manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya, mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun …. [6].
Firman Allâh ta’ala:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allâh Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7].
Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla.
✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mereka hanya beragama dengan prasangka-prasangka saja. Diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allâh’. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang orang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.” [An-Nisâ/4:157].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Rabb akan mengatakan, ‘Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?’ Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’âm/6:148].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Yûnus/10:36]
📝Dengan demikian kita dapat memahami bahwa mereka beragama hanya dengan prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja.
Firman Allâh Azza wa Jalla:
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “… Dan Allâh Azza wa Jalla yang memberi petunjuk dan wajib bagi kalian -wahai orang-orang yang beriman- untuk mengikuti semua nasihat juga perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena Allâh lebih tahu tentang hal-hal yang mendatangkan kebaikan buat kalian dan Allâh Azza wa Jalla lebih sayang kepada kalian daripada rasa sayang kalian terhadap diri kalian sendiri. Ayat ini menunjukkan agar seseorang tidak menjadikan banyaknya pengikut sebagai indikasi kebenaran, dan juga tidak mengidentikkan ketidakbenaran sesuatu dengan melihat jumlah pengikutnya yang sedikit. Bahkan kenyataannya berbeda dengan hal tersebut, justru para pengikut kebenaran itu jumlahnya lebih sedikit, namun mereka lebih besar kedudukan dan pahalanya di sisi Allâh.”[8].
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa di antara manusia yang sesat dari jalan-Nya. ‘Dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.’ Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia lebih mengetahui kelompok-kelompok sesat dan melampaui batas, dan Allâh akan membalas semuanya sesuai haknya.”[9].
✒️KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI
Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ [Al-Baqarah/2:111]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.
📝Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu agama, kepercayaan, keyakinan atau aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allâh dalam al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat manusia.
✒️KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING
Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal agama mereka sendiri. Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.[10].
Di dalam riwayat lain ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka[11]
Mubârak bin Fadhâlah t meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah , beliau mengatakan, “Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.” Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.”[12]
Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Seandainya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”
Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”
‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?”[13].
Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?
✒️JIKA DI ANTARA KAUM MUSLIMIN TERSEBAR KEBATILAN DAN KESESATAN
Jika di antara kaum Muslimin tersebar kebatilan dan kesesatan, maka kita tidak boleh mengikuti mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kebanyakan kaum Muslimin berada dalam kesesatan sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ” Orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani berpecah-belah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 kelompok.”
Dan dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan, “Satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok berada di neraka.” Beliau pun ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.”[14].
📝Ini menunjukkan bahwa kelompok yang sesat jumlahnya banyak sementara kelompok yang benar hanya satu. Akan tetapi, perlu penulis garis bawahi bahwa yang ketujuh puluh dua kelompok yang diancam untuk masuk neraka masih dikategorikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai umatnya. Jika tergolong sebagai umatnya, maka di akhirat mereka tetap berada di bawah kehendak Allâh Azza wa Jalla . Artinya, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengadzabnya maka Allâh akan adzab mereka, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengampuni mereka, maka mereka akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla .
📝Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah kelompok-kelompok menyimpang yang keluar dari agama Islam dan memang bukan Islam tidak dikategorikan sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, tetapi dikategorikan sebagai orang-orang kafir.
✒️TIDAK BOLEH MENYELISIHI AL-JAMA’AH?
Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa kita tidak boleh menyelisihi kebanyakan jamaah kaum Muslimin atau sebagian besar kaum Muslimin, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu kelompok yang selamat tersebut dengan nama al-jamâ’ah. Maka kita katakan perkataan tersebut tidak benar, karena yang dinamakan dengan al-jamâ’ah yang dimaksud pada hadits tersebut adalah Jamaah kaum Muslimin yang pertama, sebelum terjadi banyak peyimpangan. Adapun setelah kaum Muslimin menyimpang, maka kita tetap harus mengikuti jamaah kaum Muslimin yang pertama dan tidak mengikuti jamaah kaum Muslimin yang menyimpang, meskipun jumlah mereka sangat banyak.
’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya yang dinamakan al-jamâ’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allâh meskipun engkau sendirian.”[15].
Abu Syâmah rahimahullah mengatakan, “Telah datang perintah untuk berpegang teguh kepada al-jamâ’ah. Yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengan kebenaran sedikit sementara orang yang menyelisinya banyak. Karena kebenaran adalah yang pernah ditempuh oleh jamaah pertama yang terdiri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya g dan kita tidak melihat kepada banyaknya jumlah orang-orang yang berada dalam kebatilan setelah mereka.”[16].
✒️KESIMPULAN
Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.
Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.
Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Amin.
📚DAFTAR PUSTAKA
Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Kahir ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Baa’its ‘Ala Inkaaril-Bida’ Wal-Hawaadits. ‘Abdurrahman bin Ismaa’iil Abu Syaamah. Kairo: Darul-Huda.
Al-Intishaar lihizbillaah Al-Muwahhidiin War-Raddu ‘Ala Al-Mujaadil ‘Anil-Musyrikin. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdil-’Aziiz Abaa Bathiin. Tahqiiq: Al-Waliid bin ‘Abdirrahman Al=Furayyaan. Ar-Riyaadh: Dar Thaibah.
Al-I’tishaam. Abu Ishaaq Asy-Syaathibi. Mesir: Al-Maktabah At-Tijaariyah Al-Kubra.
Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
___
📚Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 415-416
[2] Tafsîr Ibni Katsîr, III/322
[3] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[4] Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110
[5] Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83
[6] HR. Al-Bukhâri, no. 5752
[7] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[8] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42
[9] Tafsir Al-Baghawi III/181
[10] HR. Muslim no. 145/232
[11] HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619
[12] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92
[13] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94
[14] HR. Abu Dâwud, no. 4598 dan Ibnu Majah no. 3992. Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 203
[15] HR. Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-jamaah no. 160
[16] Al-Bâ’its ‘Ala Inkâril-Bida’ Wal-Hawâdits.
📗📖.................✍🏻
JIKA BERAGAMA MENGIKUTI KEBANYAKAN ORANG
AKAH SYAHID SESEORANG MENINGGAL KETIKA TENGGELAM ?
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan beberapa kondisi yang menyebabkan seorang mendapat pahala mati syahid.
Diantaranya adalah mati karena tenggelam.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid.
Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).
Dalam hadis dari Jabir bin Atik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan
“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.”(HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan Al-Albani).
Selama ini kita mengenal, mati syahid hanya bisa diraih dengan gugur di medan perang fi sabilillah. Ternyata ada sebab lain yang menyebabkan seorang mendapatkan pahala mati syahid, yaitu musibah-musibah yang disebutkan dalam hadis di atas.
Namun mereka yang mati syahid bukan karena perang (jihad), disebut sebagai syahid secara hukum, bukan syahid secara hakikat.
Artinya, di dunia diperlakukan seperti jenazah umumnya, namun di akhirat dia dihukumi syahid.
Al-Hafidz Al-Aini menjelaskan makna hadis di atas, Mereka mendapat status syahid secara hukum, bukan hakiki. Ini karunia Allah untuk umat ini, Dia menjadikan musibah yang dialami umat ini sebagai pembersih dosa mereka, penambah pahala, bahkan sampai mengantarkan mereka derajat para syuhada hakiki.(Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/180).
🌏 Konsultasisyariah.com
🌎 Ittiba.or.id
📷 @ittiba.id
JALAN MENUJU QANAAH
Qana’ah (rela dan menerima pemberian Allah subhanahu wata’alaapa adanya) adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta.
Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Berikut ini beberapa kiat menuju qana’ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikan nya. Di antaranya yaitu:
1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.
2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya, “Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.
3. Memikirkan Ayat-ayat al-Qur’an yang Agung.
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathiir:2).
“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (QS.Yunus:107).
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud:6).
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. ath-Thalaq:7).
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah Allah subhanahu wata’ala menentu kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf:32).
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al an’am 165).
5. Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wata’ala agar diberikan qana’ah, beliau bedoa,
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi).
Dan karena saking qana’ahnya, beliau tidak meminta kepada Allah subhanahu wata’ala kecuali sekedar cukup untuk kehidu pan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, “Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.”(HR.al-Bukhari dan Muslim).
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?
8. Membaca Kehidupan Salaf
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.
9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.
10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.”
Sumber: “Al-Qana’ah, mafhumuha, manafi’uha, ath-thariq ilaiha,” hal 24-30, Ibrahim bin Muhammad al-Haqiil (Alsofwah).
sumber: https://pengusahamuslim.com/349-jalan-menuju-qanaah-rela-dan-menerima-pemberian-allah-apa-adanya.html
Via HijrahApp
PERSAHABATAN SEHIDUP SESURGA
فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ * وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ
“Maka kami tidak memiliki pemberi syafaat, pula tak memiliki sahabat yang menolong…” (Asy-Syu’aro 101).
Itulah kalimat penyesalan yang terlontar dari lisan orang kafir, akan tertutupnya kesempatan mereka, akan keputusasaan mereka terhadap pedih siksaNya.
Tiada anggota keluarga yang menebus mereka dari neraka, tiada saudara yang membela mereka di peradilan RabbNya, pun tiada kawan yang mengangkat mereka dari dalam dan gelap nerakaNya.
Ialah keputus asaan di atas putus asa, kesendirian di atas kesendirian, ketika tak didapati seorangpun penolong datang menghampiri.
Ialah kerugian di atas kerugian, ketika sejamak kawan dan sahabat di dunia, meninggalkan begitu saja, membiarkan diri ini sendiri, menghadapi balasan keburukan, atas apa yang dulu ia lakukan.
Maka Ialah Kawan yang buruk, sahabat yang jahat.
Sepahit penyesalan di akhirat sana,ialah ketika kau dapati, teman-mu yang dulu bersama tertawa, sahabatmu dalam foya kehidupan dunia, yang membersamaimu dalam candu-candu nafsu, kau dapati di akhirat sana, tak memberi manfaat kepadamu, tak membantumu atau menyelamatkanmu dari kegelapan hari pembalasan.
Atau bahkan pertemanan menjadi permusuhan, ikatan sahabat menjadi serapah laknat, untuk mereka yang bersahabat dalam lembah maksiat. Untuk mereka yang berteman dalam keharaman,
Berfirman Allah ta’alaa
الأخلاء يومئذ بعضهم لبعض عدو إلا المتقين
“Persahabatan pada hari itu sebagian menjadi musuh yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (Az-Zukhruf 67).
Kecuali orang yang bertaqwa.
Dengan pertemanan yang berikatkan iman, dalam persabatan yang berbalutkan ketaqwaan.
Dalam kecintaan mereka kepada saudaranya, saling menasihatkan dan berwasiat dalam tiap sua jumpa,
Dalam kerinduan terhadap kebaikan tuk saudaranya, saling mendoakan dalam tiap khusyu’ munajat kepada RabbNya,
Dalam kesadaran akan hinanya diri, ia tahu, membersamai orang-orang shalih, akan menjadi “ghanimah”, permata temuan terindah sepanjang “hayah”, kan menjadi pelipur suka duka kehidupan dunia,
Dalam kesadaran diri,
meski diri tidak se shalih teman sepersahabatan,
meski diri berlumpurkan dosa bermandikan hina,
ia berusaha dan mendamba, agar rajutan persaudaraan iman di dunia, agar kisah cinta terhadap saudara di atas jalanNya,
kan menjadi penolong di kehidupan akhiratnya
kan jadi sebab keselamatan diri, dari api neraka…
Berkata Hasan Al Bashri:
Jika telah masuk penghuni surga ke dalam surga, dan telah masuk penghuni neraka ke dalam neraka, penghuni surga berkata
” Wahai Rabbku, Dimanakah si fulan kawanku, di manakah si fulan sahabatku? tak kulihat ia bersama kami di surga…
maka dikatakan padanya “temanmu berada di neraka”
Penghuni surga itupun menyeru kepada Allah:
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku, tidaklah sempurna kelezatan surga ini kecuali fulan bersamaku….”
Maka Allah pun memerintahkan agar si fulan dikeluarkan dari neraka dari sebab kawannya yang shalih..
_
Maka bersamailah kawan-kawan shalih-mu,
bersabarlah dalam pergaulan dengan para sahabat shalihmu,
meski tak sejurus nafsu menginginkan,
meski tertatih langkahmu berulang terjatuh dalam kemaksiatan,
bagaimanapun keadaanmu,
seberat apapun permasalahanmu,
bersamailah sahabat-sahabat shalihmu,
Dengan begitu, semoga…
Esok di hari peradilanNya,
Kala berat diri mempertanggungjawabkan di hadapanNya,
dalam kesendirian,
Semoga,
terluncur permintaan dari kawan shalihmu di dunia menyebut nama kita,
“Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.”
hingga kemudian Allah selamatkan kita,
dengan sebab sahabat-sahabat shalihmu…
sekisah Ibnul Jauzi ketika ia berkata kepada kawan-kawannya,
”Jika kalian tidak menjumpaiku di surga, tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Katakanlah: ’Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.”
Kemudian beliau menangis.
___
Maka bersamailah kawan-kawan shalihmu,
pegang erat mereka, hingga kau berjumpa dengan RabbMu…
__
Untuk kawan-kawan ku yang senantiasa mengingatkan dalam kebaikan….
Jazaakumullah khayraan….
Semoga berlanjutlah pertemanan ini,
dalam senikmat-nikmat tempat kembali
bersama lezatnya kenikmatan abadi,
di surga ilaahi Rabbi…
.
.
👤 Ditulis di Yogyakarta tercinta, oleh Tim Penulis Majeedr (Semoga Allah ampuni dan berkahi beliau dan keluarganya)
sumber: https://majeedr.com/sahabat-sejati-1924
Via HijrahApp