Sesungguhnya ada dua amal yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Apabila keduanya baik, maka إن شاء الله semua amalnya akan baik. Dan apabila keduanya buruk, maka amalan yang lainnya ikut buruk.
Amalan pertama adalah shalat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح له سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk maka seluruh amalnya pun akan buruk.” (HR. Ath-Thabrani)
Hadits di atas menunjukan bahwa kebaikan amal seseorang mengikuti shalatnya. Apabila shalatnya buruk, dia tidak memperhatikan tuma’ ninahnya, rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, bahkan ia lalaikan shalat tersebut, menyebabkan amalan yang lainpun bengkok.
Amalan yang kedua, yaitu menjaga lisannya. Orang yang menjaga lisannya, maka Allah akan jaga amalannya. Orang yang lurus ucapannya, Allah akan luruskan amalannya. Tapi siapa yang lisannya bengkok, maka amalan yang lainpun akan bengkok.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾ يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴿٧١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] : 71-72).
Allah memerintahkan dalam ayat ini untuk meluruskan perkataan kita.
Mengucapkan kata-kata yang baik, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasannya. Niscaya Allah akan perbaiki amalan kalian.
Sumber :
🌐 radiorodja
🌐 Web Resmi ( ittiba.or.id )
🎬 @ittiba.id
CARA MENILAI SESEORANG ITU BAIK ATAU TIDAK
BEREBUT BANGKAI KAMBING
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Bagi seorang muslim, kebahagiaan yang asli bukan di dunia. Karena Allah menurunkan Adam di bumi, bukan dalam rangka memberi kenikmatan. Namun dalam rangka menghukum Adam, karena beliau telah mendekati pohon larangan di surga.
Sehingga, cita-cita terbesar bagi Adam adalah bagaimana bisa kembali lagi ke surga.
Imam Hasan al-Bashri pernah memberi nasehat kepada khalifah,
إِنَّ الدُّنْيَا دَارُ ظَعْنٍ وَلَيْسَتْ بِدَارِ إِقَامَةٌ ، وَإِنَّمَا أُنْزِلَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلامُ إِلَيْهَا عُقُوبَةً ، فَاحْذَرْهَا
Sesungguhnya dunia adalah negeri rantauan dan bukan negeri tempat menetap. Dan Nabi Adam ‘alaihis salam diturunkan di dunia untuk menjalani hukuman. Karena itu, berhati-hatilah. (az-Zuhd, Ibnu Abi Dunya, no. 50).
Dalam masalah dunia, seorang mukmin lebih memilih banyak bersabar. Karena dia tidak ingin, agamanya rusak gara-gara dunia. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dunia itu ibarat penjara bagi mukmin.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia itu penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Ahmad 8512 & Muslim 7606)
Sebanyak apapun fasilitas hidup yang dimiliki mukmin di dunia, jika dibandingkan kenikmatan surga, maka dunia itu ibarat penjara baginya.
Agar umatnya tidak terlalu rakus dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan betapa kehinaan dunia. Sampai beliau menyebutkan, andai di sisi Allah dunia ini sebanding dengan satu sayap seekor nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan diberi minum walaupun seteguk air.
Dalam hadis dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Andai dunia itu senilai satu sayap seekor nyamuk di sisi Allah, tentu orang kafir tidak akan diberi minum walaupun seteguk air. (HR. Turmudzi 2490 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa di sisi Allah, dunia itu ibarat bangkai anak kambing di mata manusia. Orang melihatnya saja jijik, sehingga tidak akan sampai tega mengambilnya.
Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar bersama para sahabat. Lalu beliau melihat bangkai anak kambing yang telinganya cacat. Beliau pun mengambil kambing itu dengan memegang telinganya. “Siapakah yang mau membeli ini dengan harga satu dirham?”. Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kami sama sekali tidak tertarik untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?”. Jawab sahabat.
“Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?”. Tanya beliau.
“Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?” kata para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sabdanya,
فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim 7607).
Karena itulah, orang yang terlalu rakus terhadap dunia, bisa dipastikan akan merusak sebagian agamanya.
Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ أَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dua serigala lapar yang dilepas di tengah kerumunan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan kerusakan terhadap agama seseorang yang ditimbulkan karena rakus harta dan kedudukan. (HR. Ahmad 16198, Ibnu Hibban 3228 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dan karena itu pula, orang yang tawuran, melakukan tindakan anarkis, demi dunia, disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tindakan jahiliyah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa yang berperang karena sebab yang tidak jelas, marah karena fanatik kelompok, atau motivasi ikut kelompok, atau dalam rangka membantu kelompoknya, kemudian dia terbunuh, maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim 4892).
Rebutan dunia memang memalukan…
Allahu a’lam.
☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum.
✒ Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com
HISAB PADA HARI PEMBALASAN
السلام عليكم ورحمةالله وبر كاته
بسم الله الرحمن الرحيم
Beriman kepada hari Akhir dan kejadian yang ada padanya merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Untuk mencapai kesempurnaan iman terhadap hari Akhir, maka semestinya setiap muslim mengetahui peristiwa dan tahapan yang akan dilalui manusia pada hari tersebut. Di antaranya yaitu masalah hisab (perhitungan) yang merupakan maksud dari iman kepada hari Akhir. Karena, pengertian dari beriman kepada hari kebangkitan adalah, beriman dengan hari kembalinya manusia kepada Allah lalu dihisab. Sehingga hakikat iman kepada hari kebangkitan adalah iman kepada hisab ini.[1]
PENGERTIAN HISAB
Pengertian hisab disini adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya.[2] Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan.[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya.[4] Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna al muhasabah (proses hisab).[5] Demikian juga Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat.[6].
Hisab menurut istilah aqidah memiliki dua pengertian.
Pertama. Al ‘Aradh (penampakan dosa dan pengakuan), mempunyai dua pengertian.
1. Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab.
2. Pemaparan amalan maksiat kaum Mukminin kepada mereka, penetapannya, merahasiakan (tidak dibuka dihadapan orang lain) dan pengampunan Allah atasnya. Hisab demikian ini dinamakan hisab yang ringan (hisab yasir). [7]
Kedua. Munaqasyah (diperiksa secara sungguh-sungguh) dan inilah yang dinamakan hisab (perhitungan) antara kebaikan dan keburukan.[8].
Untuk itulah Syaikhul Islam menyatakan, hisab, dapat dimaksudkan sebagai perhitungan antara amal kebajikan dan amal keburukan, dan di dalamnya terkandung pengertian munaqasyah. Juga dimaksukan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan terhadap pelakunya.[9] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan di dalam sabdanya:
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya,”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah’ [10]” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al ‘aradh. Namun barangsiapa yang dimunaqasyah hisabnya, maka ia akan binasa”. [Muttafaqun ‘alaihi].
HISAB PASTI ADA
Kepastian adanya hisab ini telah dijelaskan di dalam al Qur`an dan Sunnah. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ ﴿٧﴾ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, [al Insyiqaq / 84 : 7-8].
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ﴿١٠﴾فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا﴿١١﴾وَيَصْلَىٰ سَعِيرًا
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [al Insyiqaq / 84:10-12].
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ﴿٢٥﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka. [al Ghasyiyah / 88 : 25-26].
الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. [al Mu’min / 40 : 17].
Sedangkan dalil dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata:
لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ إِلَّا هَلَكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ اللَّهُ يَقُولُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَ ذَاكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ هَلَكَ
“Tidak ada seorangpun yang dihisab kecuali binasa,” Aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, bukankah Allah berfirman ‘pemeriksaan yang mudah’?” Beliau menjawab,”Itu adalah al aradh, namun barangsiapa yang diperiksa hisabnya, maka binasa”.
Imam Ibnu Abil Izz (wafat tahun 792 H) menjelaskan, makna hadits ini adalah, seandainya Allah memeriksa dengan menghitung amal kebajikan dan keburukan dalam hisab hambaNya, tentulah akan mengadzab mereka dalam keadaan tidak menzhalimi mereka sedikitpun, namun Allah memaafkan dan mengampuninya.[11].
Demikian juga umat Islam, sepakat atas hal ini.[12] Sehingga apabila seseorang mengingkari hisab, maka ia telah berbuat kufur, dan pelakunya sama dengan pengingkar hari kebangkitan.[13].
HISAB MANUSIA DAN JIN
Syaikhul Islam menyatakan: “Allah akan menghisab seluruh makhlukNya”[14]
Dari pernyataan ini, Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa Allah akan menghisab seluruh makhlukNya. Namun ini termasuk menggunakan lafahz bermakna umum tapi yang dimaksudkan adalah tertentu saja. Yaitu khusus yang Allah bebani syariat.
Karena pemberlakuan proses hisab itu pada amalan baik dan buruk hamba yang mukallaf, mencakup manusia dan jin.[15] Begitu pula Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, bahwa hisab ini juga mencakup jin, karena mereka mukallaf. Oleh karena itu, jin kafir masuk ke dalam neraka, sebagaimana disebutkan menurut nash syariat dan Ijma’. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan :
قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ
Allah berfirman:”Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu… [al-A’raaf/ 7:38].
Yang mukmin masuk syurga, menurut mayoritas ulama dan ini yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah: Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabb-nya ada dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan. Kedua surga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu ada dua buah mata air yang mengalir. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. [ar Rahman / 55 : 46 – 56].
Dikecualikan dalam hal ini, yaitu mereka yang masuk surga tanpa hisab maupun adzab. Begitu pula dengan hewan yang tidak memiliki pahala dan dosa.
Adapun orang kafir, apakah dihisab ataukah tidak? Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang kafir tidak dihisab. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan mereka dihisab.
Syaikhul Islam mendudukkan permasalahan ini dengan pernyataan beliau rahimahullah : “Pemutus perbedaan (dalam masalah ini), yaitu hisab dapat dimaksudkan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan mereka, serta celaan terhadap mereka. Dapat (juga) dimaksudkan dengan pengertian perhitungan antara amal kebajikan dengan amal keburukan. Apabila yang diinginkan dengan kata “hisab” adalah pengertian pertama, maka jelas mereka dihisab. Namun bila dengan pengertian kedua, maka bila dimaksudkan bahwa orang kafir tetap memiliki kebajikan yang menjadikannya pantas masuk surga, maka (pendapat demikian) ini jelas keliru. Tetapi bila yang dimaksudkan mereka memiliki tingkatan-tingkatan dalam (menerima) adzab, maka orang yang banyak dosa kesalahannya, adzabnya lebih besar dari orang yang sedikit dosa kesalahannya, dan orang yang memiliki kebajikan, maka diringankan adzabnya, sebagaimana Abu Thalib lebih ringan adzabnya dari Abu Lahab. Allah berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَاباً فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ
Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. [an Nahl / 16:88].
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ
Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran. [at Taubah / 9:37].
Apabila adzab sebagian orang kafir lebih keras dari sebagian lainnya -karena banyaknya dosa dan sedikitnya amal kebaikan- maka hisab dilakukan untuk menjelaskan tingkatan adzab, bukan untuk masuk syurga.[16]
Dengan penjelasan Syaikhul Islam tersebut, maka hisab di atas, maksudnya adalah dalam pengertian menghitung, menulis dan memaparkan amalan-amalan kepada mereka, bukan dalam pengertian penetapan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka pada hari Kiamat untuk ditimbang melawan amalan keburukan mereka.[17] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat. [al Kahfi / 18 : 105].
AMALAN ORANG KAFIR DI DUNIA
Amalan kebaikan yang dilakukan orang kafir di dunia terbagi menjadi dua. Pertama, yang disyaratkan padanya Islam dan niat. Amalan-amalan ini tidak diterima dan tidak bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Kedua, amalan yang tidak disyaratkan Islam padanya, seperti keluhuran budi pekerti, menunda penagihan hutang bagi yang tidak mampu membayar dan lain-lainnya. Amalan-amalan ini akan diberi balasannya di dunia.[18]
Syaikh Kholil Haras menyatakan: “Yang benar adalah, semua amalan kebaikan yang dilakukan orang kafir hanya dibalas di dunia saja. Hingga bila datang hari Kiamat, ia akan mendapati lembaran kebaikannya kosong”.[19] Demikian ini, karena Allah berfirman:
﴿وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا﴾
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al Furqaan / 25 : 23].
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrahim / 14 : 18].
Ada pendapat lain yang menyatakan amalan kebaikan mereka di dunia dapat meringankan adzab mereka. Menurut pendapat ini, amalan kebaikan yang tidak disyaratkan Islam padanya, pada hari Kiamat akan mendapat balasan untuk menutupi kezhalimannya terhadap orang lain. Apabila antara kezhalimannya seimbang dengan amalan tersebut, maka ia hanya diadzab disebabkan oleh kekufurannya saja. Namun, bila orang kafir ini tidak memiliki amal kebaikan di dunia, maka ditambahkan adzabnya yang disebabkan kekufurannya.[20]
CARA HISAB
Hisab ini dilakukan dalam satu waktu,[21] dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang akan melakukannya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau :
مَا مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَا يَرَى إِلَّا النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali akan diajak bicara Rabb-nya tanpa ada penterjemah antara dia dengan Rabb-nya. Lalu ia melihat ke sebelah kanan, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya; dan ia melihat kekiri, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya. Lalu melihat ke depan, kemudian hanya melihat neraka ada di hadapannya.
Kemudian diberikan kitab yang telah ditulis malaikat agar dibaca dan diketahui oleh setiap orang. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [al Kahfi / 18 : 49].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menulis semua amalan hambaNya, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firmanNya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ﴿٧﴾وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. [al Zalzalah / 99:7-8].
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakanNya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. [al Mujaadilah / 58 : 6].
Sehingga seluruh pelaku perbuatan melihat amalannya dan tidak dapat mengingkarinya, karena bumi menceritakan semua amalan mereka. Begitu pula seluruh anggota tubuh pun berbicara tentang perbuatan yang telah ia lakukan. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا﴿١﴾وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا﴿٢﴾وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini),” pada hari itu bumi menceritakan beritanya, [al Zalzalah / 99 : 1-4].
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. [Yaasin / 36:65]
CARA HISAB SEORANG MUKMIN DAN KAFIR
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Maha Lembut tidak menghisab kaum Mukminin dengan munaqasyah, namun mencukupkan dengan al aradh. Dia hanya memaparkan dan menjelaskan semua amalan tersebut di hadapan mereka, dan Dia merahasiakannya, tidak ada orang lain yang melihatnya, lalu Allah berseru : “Telah Aku rahasiakan hal itu di dunia, dan sekarang Aku ampuni semuanya”.
Demikian dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mendekati seorang mukmin, lalu meletakkan padanya sitar dan menutupinya (dari pandangan orang lain), lalu (Allah) berseru : ‘Tahukah engkau dosa ini? Tahukah engkau dosa itu?’ Mukmin tersebut menjawab,’Ya, wahai Rabb-ku,’ hingga bila selesai meyampaikan semua dosa-dosanya dan mukmin tersebut melihat dirinya telah binasa, Allah berfirman,’Aku telah rahasiakan (menutupi) dosa itu di dunia, dan Aku sekarang mengampunimu,’ lalu ia diberi kitab kebaikannya. Sedangkan orang kafir dan munafik, maka Allah berfirman : ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka’. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim”. [HR al Bukhari].
Adapun orang-orang kafir, mereka akan dipanggil di hadapan semua makhluk. Kepada mereka disampaikan semua nikmat Allah, kemudian akan dipersaksikan amalan kejelekan mereka disana. Dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَيَلْقَى الْعَبْدَ فَيَقُولُ أَيْ فُلْ أَلَمْ أُكْرِمْكَ وَأُسَوِّدْكَ وَأُزَوِّجْكَ وَأُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ وَأَذَرْكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ فَيَقُولُ بَلَى قَالَ فَيَقُولُ أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ فَيَقُولُ لَا فَيَقُولُ فَإِنِّي أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي ثُمَّ يَلْقَى الثَّانِيَ فَيَقُولُ أَيْ فُلْ أَلَمْ أُكْرِمْكَ وَأُسَوِّدْكَ وَأُزَوِّجْكَ وَأُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ وَأَذَرْكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ فَيَقُولُ بَلَى أَيْ رَبِّ فَيَقُولُ أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ فَيَقُولُ لَا فَيَقُولُ فَإِنِّي أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي ثُمَّ يَلْقَى الثَّالِثَ فَيَقُولُ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ آمَنْتُ بِكَ وَبِكِتَابِكَ وَبِرُسُلِكَ وَصَلَّيْتُ وَصُمْتُ وَتَصَدَّقْتُ وَيُثْنِي بِخَيْرٍ مَا اسْتَطَاعَ فَيَقُولُ هَاهُنَا إِذًا قَالَ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ الْآنَ نَبْعَثُ شَاهِدَنَا عَلَيْكَ وَيَتَفَكَّرُ فِي نَفْسِهِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْهَدُ عَلَيَّ فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ وَيُقَالُ لِفَخِذِهِ وَلَحْمِهِ وَعِظَامِهِ انْطِقِي فَتَنْطِقُ فَخِذُهُ وَلَحْمُهُ وَعِظَامُهُ بِعَمَلِهِ وَذَلِكَ لِيُعْذِرَ مِنْ نَفْسِهِ وَذَلِكَ الْمُنَافِقُ وَذَلِكَ الَّذِي يَسْخَطُ اللَّهُ عَلَيْهِ
Lalu Allah menemui hambaNya dan berkata : “Wahai Fulan! Bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikan engkau sebagai pemimpin, menikahkanmu dan menundukkan untukmu kuda dan onta, serta memudahkanmu memimpin dan memiliki harta banyak?” Maka ia menjawab: “Benar”. Allah berkata lagi: “Apakah engkau telah meyakini akan menjumpaiKu?” Maka ia menjawab: “Tidak,” maka Allah berfirman : “Aku biarkan engkau sebagaimana engkau telah melupakanKu”. Kemudian (Allah) menemui orang yang ketiga dan menyampaikan seperti yang disampaikan di atas. Lalu ia (orang itu) menjawab: “Wahai Rabbku! Aku telah beriman kepadaMu, kepada kitab suciMu dan rasul-rasul Mu. Juga aku telah shalat, bershadaqah,” dan ia memuji dengan kebaikan semampunya. Allah menjawab: “Kalau begitu, sekarang (pembuktiannya),” kemudian dikatakan kepadanya: “Sekarang Kami akan membawa para saksi atasmu,” dan orang tersebut berfikir siapa yang akan bersaksi atasku. Lalu mulutnya dikunci dan dikatakan kepada paha, daging dan tulangnya: “Bicaralah!” Lalu paha, daging dan tulangnya bercerita tentang amalannya, dan itu untuk menghilangkan udzur dari dirinya. Itulah nasib munafik dan orang yang Allah murkai. [HR Muslim].
Demikianlah keadaan tiga jenis manusia. Yang pertama seorang mukmin, ia mendapatkan ampunan dan kemuliaan Allah. Yang kedua seorang yang kafir dan ketiga orang munafik. Keduanya mendapat laknat dan kemurkaan Allah
Oleh karena itu, bersiaplah menghadapinya dengan mempersiapkan bekal ilmu yang bermanfaat dan amal shalih yang cukup, memperbanyak mengingat hari perhitungan ini dan melihat kepada amalan yang telah kita perbuat. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita untuk memperbanyak bekal, yang nantinya dengan bekal tersebut kita menghadap sang pencipta dan mendapat keridhaanNya.
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.
___
Footnote
[1]. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih Alu Syaikh, kaset ke –19 yang telah ditulis ulang di website beliau.
[2]. Muqarrar at Tauhid Lishaf ats Tsani al ‘Ali fil Ma’ahid al Islamiyah, tanpa tahun, hlm. 84.
[3]. Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Khalil Haras, Tahqiq Alwi Abdilqadir as Sagaf, Cetakan Kedua, Tahun 1415H, Dar al Hijrah, hlm. 209.
[4]. Ibid., hlm. 208.
[5]. Lihat kaset Syarh al Aqidah al Wasithiyah ke-19.
[6]. Syarh al ‘Aqidah al Washithiyah, Ibnu ‘Utsaimin, Cetakan ke-2, Tahun 1415 H, Dar Ibnul Jauzi, 2/152
[7]. Lihat Mukhtashar Ma’arij al Qabul Hafizh al Hakami, diringkas oleh Hisyam Ali ‘Uqdah, Cetakan Ketiga, Tahun 1413H, hlm. 246.
[8]. Ibid.
[9]. Dar’u Ta’arudh al Aqli wan Naqli, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Muhammad Rasyaad Saalim, tanpa tahun, 5/229.
[10]. Al Qur`an surat al Insyiqaq / 84 : 8
[11]. Syarh al Qaidah ath Thahawiyah, Ibnu Abil Izz al Hanafi, Tahqiq Syuaib al Arnauth, Cetakan Kedua, Tahun 1413H, Muassasah ar Risalah, hlm. 602.
[12]. Lihat Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Ibnu ‘Utsaimin. Op.cit. 2/152
[13]. Llihat kaset Syarh al Aqidah al Wasithiyah ke-19
[14]. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Khalil Haras, hlm. 208.
[15]. Penjelasan Syaikh Shalih Ali Syaikh pada kaset ke-19, Syarh al Aqidah al Wasithiyah.
[16]. Majmu’ Fatawa 4/305-306
[17]. Dar’u Ta’arudh al Aqli wan Naqli, Op.cit 5/229.
[18]. Penjelasan Syaikh Shalih Ali Syaikh pada kaset ke-19, Syarh al Aqidah al Wasithiyah.
[19]. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Khalil Haras, hlm. 208.
[20]. Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/462.
[21]. Dar’u Ta’arudh al Aqli wan Naqli, Op.cit. 4/129.
sumber: https://almanhaj.or.id/3705-hisab-pada-hari-pembalasan.html
Semoga bermanfaat
JAUHI SIFAT SUKA DI PUJI
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menjauhi ketenaran dan pujian-pujian karena pujian itu fitnah. Beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ
“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” (HR. Ahmad no. 16460, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2674)
Abu Ayyub as-Sikhtiyani mengatakan: “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Ta’thiru al-Anfas, hlm. 276).
Dari al-Husain bin al-Hasan al-Marwazi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah ibnu Mubarok pernah berkata: “Jadilah orang yang menyukai status khumul (status tersembunyi dan tidak dikenal) dan membenci popularitas. Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan karena cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu.” (Shifatu ash-Shafwah, 2/325).
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11652-hati-hatilah-dengan-ketenaran.html
Semoga bermanfaat
DZIKIR AMALAN TERBAIK DAN TERSUCI
Dari Abu ad-Darda` beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci kalian disisi Allâh dan paling tinggi dalam derajat kalian serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak dan lebih baik dari berjumpa musuh kalian lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, ‘Ya.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Dzikir kepada Allâh.
TAKHRIJ
SYARAH HADITS
Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, “Banyak sekali Nash-nash syariat yang menjelaskan keutamaan dzikir yang lebih dari sedekah dengan harta dan amalan ketaatan lainnya. (Jâmi’ Ulûm wal Hikam, hlm. 225). Kemudian beliau rahimahullah menyampaikan hadits Abu ad-Darda’ ini dan sejumlah hadits-hadits yang menunjukkan pengertian seperti itu.
Imam Ibnu Abid Dunya rahimahullah meriwayatkan dari al-A’masy dari Sâlim bin Abil Ja’d , beliau berkata: Ditanya Abu ad-Darda` Radhiyallahu anhu tentang seorang yang membebaskan seratus budak, beliau Radhiyallahu anhu menjawab:
إنَّ مِئَةَ نَسَمَةٍ مِنْ مَالِ رَجُلٍ لَكَثِيْرٌ، وَأَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ إِيْمَانٌ مَلْزُوْمٌ باِللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنْ لاَ يَزَالَ لِسَانُ أَحَدِكُمْ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ
Sesungguhnya seratus budak dari harta seorang adalah banyak sekali dan yang lebih utama dari itu adalah iman yang terus ada dimalam dan siang hari dan jangan lepas lisan salah seorang kalian basah dari dzikir kepada Allâh.
(Hadits ini dibawakan Imam al-Mundziri rahimahullah dalam at-Targhîb wa at-tarhîb (2/395) dan beliau katakan sanadnya hasan, namun Syeikh al-Albâni rahimahullah menyatakan hadits ini mauquf (lemah) dalam Dha’if at-Targhîb wa at-Tarhîb no. 896)
Sahabat Abu ad-Darda` Radhiyallahu anhu di sini menjelaskan keutamaan membebaskan budak, namun ketinggian keutamannya tidak bisa sejajar dengan dzikir yang terus menerus dan rutin. Penjelasan keutamaan dzikir yang melebihi amalan lainnya juga disampaikan banyak Sahabat dan Tabi’in seperti Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dan Abdullâh bin Amru bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu serta lainnya, seperti disampaikan dalam kitab Jâmi’ al-Ulûm wal Hikam hlm 225-226.
Namun perlu diingat, bahwa ini tidak berarti mengecilkan keutamaan berinfak di jalan Allâh Azza wa Jalla dan membebaskan budak, namun maksudnya adalah mengunggulkan keutamaan dzikir dan menjelaskan urgensi dan ketinggian kedudukannya. Tidak ada yang bisa mengunggulinya bahkan semua amalan dan ketaatan disyariatkan hanya untuk menegakkan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha/20:14]
Didirikannya shalat adalah untuk dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Hal ini berisi penjelasan tentang agungnya perkara shalat, karena shalat adalah merendahkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , berdiri dihadapan Nya dan memohon serta menegakkan dzikir mengingat Allâh Azza wa Jalla. Berdasarkan hal ini maka shalat adalah dzikir dan Allâh Azza wa Jalla telah menamakannya dengan dzikir dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Jumu’ah/62:9]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menamakan shalat sebagai dzikir, karena dzikir adalah ruh, inti dan hakikat shalat. Orang yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling kuat, kokoh dan banyak dzikirnya kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah inti semua jenis ketaatan dan ibadah yang dijadikan sarana hamba mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla .
Dalam sebuah hadits Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ
Seorang bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Mujahidin mana yang paling besar pahalanya wahai Rasûlullâh ? beliau menjawab: Yang paling banyak dzikirnya. Ia bertanya lagi: Orang yang berpuasa yang paling banyak pahalanya? beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Yang paling banyak dzikirnya. Kemudian orang tersebut menyebutkan shalat, zakat, haji dan sedekah kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya: Yang paling banyak dzikirnya. Maka Abu Bakar z berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu : Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!! maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Iya. [HR. Ahmad dalam al-Musnad 3/438 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr 20/186 no 407, hadits ini disampaikan adanya dua riwayat penguat oleh Syeikh Abdurrazâq al-Abad sehingga beliau berkata: Bisa digunakan untuk berhujjah Insya Allâh].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Sungguh pelaku amalan apapun yang paling utama adalah yang paling banyak dzikir (mengingat) Allâh Azza wa Jalla . Orang berpuasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allâh Azza wa Jalla dalam puasa mereka. Orang bersedekah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allâh Azza wa Jalla . Orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allâh Azza wa Jalla dan demikian seluruh amalan shalih. [al-Wâbil ash-Shayyib hlm 152].
Mengingat Allâh Azza wa Jalla (Dzikrullah) adalah amalan paling utama dan lebih besar dari semuanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﱠ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat.Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Ankabut/29:45]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Yang benar bahwa pengertian ayat adalah dalam sholat ada dua maksud besar dan salah satunya lebih besar dari yang lain; karena shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan berisi dzikir mengingat Allâh Azza wa Jalla. Pahala dari dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla tersebut lebih besar dari mencegah perbuat keji dan mungkar. [Ucapan ini dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di al-Wâbil ash-Shayyib hlm 152]
Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu pernah ditanya: Amalan apa yang paling utama? beliau Radhiyallahu anhu menjawab: Tidakkah kamu membaca al-Qur`an!
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
: Dan sesungguhnya mengingat Allâh adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).[Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam tafsîrnya 20/183].
Demikian juga Ibnu Abid Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa beliau ditanya: Amalan apa yang paling utama? beliau menjawab: وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ Mengingat Allâh itu adalah lebih besar. [Dinukil Ibnul Qayyim dalam al-Wâbil ash-Shayyib hlm 151-152].
Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kaum Mukminin untuk meperbanyak dzikir baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring, baik di malam hari atau siang hari, bahkan dalam segala keadaan dan kondisi. Demikian juga memberikan pahala besar atas hal itu, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allâh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu’min itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah:”Salam”; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. [Al-Ahzab/33:41-44]
Dalam ayat yang mulia ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk memperbanyak dzikir dan menjelaskan balasan yang besar atas amalan tersebut. Demikian juga firman Allâh Azza wa Jalla :
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴿١٥١﴾ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. [Al-Baqarah/2:151-152]
Orang-orang yang banyak mengingat Allâh Azza wa Jalla adalah al-Mufarridûn yang bersegera kepada kebaikan dan mendapatkan derajat dan kedudukan tertinggi. Hal ini dijelaskan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam penyataan beliau:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيرُ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ جُمْدَانُ فَقَالَ : سِيرُوا هَذَا جُمْدَانُ ، سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ ، قَالُوا وَمَا الْمُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ.
Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di jalan Makkah lalu melewati sebuah bukit yang dinamakan bukit Jumdân, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Berjalanlah melewati Jumdân ini! Telah menang al-Mufarridûn. Mereka bertanya: Siapakah al-Mufarridûn tersebut wahai Rasûlullâh ? Beliau menjawab : Lelaki dan wanita yang banyak mengingat Allâh. [HR Muslim no. 2676].
BAGAIMANA MENDAPATKAN KEDUDUKAN AL-MUFARRIDUN INI?
Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan pengertian yang mirip dengan pernyataan sahabat Ibnu Abbâs diatas dengan menyatakan: Paling tidak seorang selalu merutinkan wirid-wirid pagi dan sore serta setelah shalat lima waktu. Juga pada kejadian dan sebab-sebab tertentu. Seharusnya merutinkannya dalam semua waktu dan semua keadaan. Sebab hal itu adalah ibadah yang menjadikan pelakunya menjadi juara dalam keadaan rileks. Juga menariknya untuk mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mengenalnya dan menjadi pembantu dalam melakukan kebaikan dan menahan lisan dari ucapan buruk. [Tafsîr as-Sa’di hlm 667 ketika menafsirkan surat al-Ahzab ayat 41].
FAEDAH HADITS:
(Sumber: Fikih al-Ad’iyah wal Adzkâr Syeikh Abdurrazaq al-Badr 1/33-38 dengan sedikit penambahan dan pengurangan)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
CARA MENILAI SESEORANG ITU BAIK ATAU TIDAK
Sesungguhnya ada dua amal yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Apabila keduanya baik, maka إن شاء الله semua amalnya akan baik. Dan apabila keduanya buruk, maka amalan yang lainnya ikut buruk.
Amalan pertama adalah shalat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح له سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk maka seluruh amalnya pun akan buruk.” (HR. Ath-Thabrani)
Hadits di atas menunjukan bahwa kebaikan amal seseorang mengikuti shalatnya. Apabila shalatnya buruk, dia tidak memperhatikan tuma’ ninahnya, rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, bahkan ia lalaikan shalat tersebut, menyebabkan amalan yang lainpun bengkok.
Amalan yang kedua, yaitu menjaga lisannya. Orang yang menjaga lisannya, maka Allah akan jaga amalannya. Orang yang lurus ucapannya, Allah akan luruskan amalannya. Tapi siapa yang lisannya bengkok, maka amalan yang lainpun akan bengkok.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾ يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴿٧١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] : 71-72).
Allah memerintahkan dalam ayat ini untuk meluruskan perkataan kita.
Mengucapkan kata-kata yang baik, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasannya. Niscaya Allah akan perbaiki amalan kalian.
Sumber :
🌐 radiorodja
🌐 Web Resmi ( ittiba.or.id )
🎬 @ittiba.id