Apakah Dosa Dilipatgandakan Di Bulan Dan Tempat Yang Mulia?

Makna Puasa Ramadhan yang Perlu Kamu Ketahui | Kitabisa.comBismillah walhamdulillah wah shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, dalam syari’at Islam yang mulia, telah dijelaskan adanya beberapa tempat dan bulan yang memiliki kemuliaan, di antaranya adalah bulan Ramadhan yang sedang kita hadapi ini.

Suatu sikap yang baik bagi seorang muslim adalah memuliakan sesuatu yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, termasuk memuliakan bulan Ramadhan ini. Sikap memuliakannya adalah berusaha melakukan berbagai bentuk ketaatan kepada Allah dan menjauhi semua kemaksiatan di bulan ini. Nah, lalu apakah yang akan didapatkan seseorang ketika melakukan ketaatan atau kemaksiatan di bulan ini?

Berikut ini fatwa tentang apakah keburukan dan kebaikan dilipatgandakan pada bulan Ramadhan? Jika jawabannya ya, lalu apakah hal itu berlaku juga untuk bulan-bulan yang memiliki keutamaan selain bulan Ramadhan? Bagaimana jika melakukan ketaatan dan kemaksiatan di tempat-tempat yang memiliki keutamaan?

Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah

Fatwa no. 38213: Apakah keburukan dan kebaikan dilipatgandakan pada bulan Ramadhan?

Apakah benar bahwa keburukan dilipatgandakan di bulan Ramadhan, sebagaimana kebaikan dilipatgandakan juga? Apakah ada dalil yang menunjukkan hal itu?

Jawab:

“Segala puji bagi Allah, benar, kebaikan dan keburukan dilipatgandakan pada waktu dan tempat yang utama, akan tetapi di sana ada perbedaan antara pelipatgandaan kebaikan dengan pelipatgandaan keburukan. Adapun pelipatgandaan kebaikan adalah pelipatgandaan kuantitas dan kualitas. Maksud dari kuantitas adalah bilangan, sehingga satu kebaikan (dilipatgandakan) menjadi sepuluh kali lipat atau lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan (pelipatgandaan) kualitas adalah pahalanya lebih besar dan lebih banyak. Adapun keburukan, maka pelipatgandaannya dalam kualitas saja, bahwa dosanya lebih besar dan siksanya lebih berat, namun dari sisi bilangan, maka satu keburukan dihitung satu (kesalahan) saja, tidak mungkin dihitung lebih dari satu kesalahan.”

Disebutkan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (2/385) :

(وتضاعف الحسنة والسيئة بمكان فاضل كمكة والمدينة وبيت المقدس وفي المساجد، وبزمان فاضل كيوم الجمعة، والأشهر الحرم ورمضان. أما مضاعفة الحسنة: فهذا مما لا خلاف فيه، وأما مضاعفة السيئة، فقال بها جماعة تبعا لابن عباس وابن مسعود . . . وقال بعض المحققين: قول ابن عباس وابن مسعود في تضعيف السيئات: إنما أرادوا مضاعفتها في الكيفية دون الكمية ) اهـ .

“Kebaikan dan keburukan menjadi berlipatganda pada tempat mulia seperti Mekah, Madinah, Baitul Maqdis dan di masjid. Dan (berlipatganda pula) di waktu yang mulia seperti pada hari jum’at, bulan-bulan haram dan Ramadhan. Adapun pelipatgandaan kebaikan, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan (di antara ulama) tentangnya. Adapun pelipatgandaan keburukan, maka sekelompok ulama menyatakan hal itu, mereka mengikuti (pendapat) Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud…. dan berkata sebagian ulama peneliti perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dalam pelipatgandaan keburukan mereka hanyalah memaksudkannya sebagai (pelipatgandaan) kualitas dan bukan kuantitas”.

Syaikh Bin Baz rahimahullah  pernah ditanya, “Apakah puasa menyebabkan seorang muslim mendapatkan peleburan dosanya, baik kecil maupun besar? Apakah dosa bisa berlipatganda saat bulan Ramadhan?”.

Beliau menjawab, “perkara yang disyari’atkan bagi seorang muslim pada bulan Ramadhan dan di bulan selainnya adalah berjihad menundukkan jiwa yang banyak menyuruh kepada keburukan sehingga menjadi jiwa yang tenang, yang suka memerintahkan kebaikan dan mencintainya. Wajib baginya berjihad memerangi musuh Allah, yaitu iblis, hingga selamat dari kejahatannya dan tipu dayanya. Maka seorang muslim di dunia ini berada di dalam aktifitas jihad yang besar secara terus menerus, baik melawan jiwa (yang buruk), hawa nafsu, maupun setan. Hendaklah ia memperbanyak taubat dan istighfar pada setiap waktu dan kesempatan, akan tetapi waktu itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia dalam setahun, ia merupakan bulan ampunan, rahmat dan pembebasan dari api Neraka. Jika suatu bulan itu memiliki keutamaan dan suatu tempat itu memiliki keutamaan maka dilipatgandakan kebaikan-kebaikan (di dalamnya), dan menjadi besar dosa keburukan-keburukan (yang dilakukan di dalamnya). Jadi satu keburukan yang dilakukan pada bulan Ramadhan lebih besar dosanya daripada satu keburukan yang dilakukan di luar Ramadhan, sebagaimana satu ketaatan yang dilakukan di bulan Ramadhan lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada satu ketaatan  yang dilakukan di luar Ramadhan.

Ketika (sudah diketahui bahwa) Ramadhan memiliki kedudukan yang agung, maka tentunya ketaatan yang dilakukan di dalam bulan tersebut memiliki keutamaan yang agung dan berlipat ganda pula dengan kelipatan yang banyak, sedangkan dosa maksiat yang dilakukan di dalamnya lebih parah dan lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa yang dikerjakan di bulan selainnya. Maka, seorang muslim hendaknya mengambil kesempatan di bulan yang diberkahi ini dengan melakukan ketaatan dan amal shalih serta berhenti dari melakukan keburukan. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahkan kepadanya penerimaan amal dan memberi taufik agar istiqamah di atas (jalan) kebenaran. Akan tetapi, (kalau) keburukan/dosa, tetaplah semisal kemaksiatannya, tidak dilipatgandakan dalam jumlah, tidak di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan selainnya. Adapun kebaikan, maka dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya sampai berlipat-lipat ganda dengan kelipatan yang banyak, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Al-An’aam:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (Al-An’aam :160).

Dan Ayat-Ayat yang semakna dengannya banyak jumlahnya. Demikian pula terkait dengan tempat yang mulia, seperti dua tanah haram yang mulia (Mekah dan Madinah), (kebaikan) dilipatgandakan di kedua tempat tersebut dengan kelipatan yang banyak, baik itu secara kuantitas maupun secara kualitas. Adapun keburukan, maka tidak dilipatgandakan secara kuantitas, namun dilipatgandakan secara kualitas (jika dilakukan) di waktu dan tempat yang mulia, sebagaimana telah berlalu isyarat akan hal itu, wallahu waliyyut taufiq”. (Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalat mutanawwi’ah 15/446).

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam “As-Syarhul Mumti’ (7/262) mengatakan kebaikan dan keburukan dilipatgandakan pada tempat dan waktu yang mulia. Kebaikan dilipatgandakan dengan (pelipatgandaan) kuantitas dan kualitas, adapun keburukan,maka dengan pelipatgandaan kualitas, bukan dengan kuantitas .

Karena Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’aam -surat ini adalah surat Makkiyyah- :

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (An-An’aam : 160)

Dan Allah berfirman:

{مَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}

“Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya (Masjidil Haram) melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” (Al-Hajj:25) [1],

(Di dalam Ayat ini) Allah  tidaklah berfirman “(niscaya) Kami lipatgandakannya untuknya,” namun berfirman

{نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}

“Niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.”

“Maka, (kesimpulannya) pelipatgandaan keburukan di Mekah atau di Madinah adalah pelipatgandaan kualitas. [Maksudnya: Siksanya lebih pedih dan menyakitkan, (hal ini) berdasarkan firman Allah Ta’ala”

{مَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ }

“Barang siapa yang bermaksud di dalamnya (Masjidil Haram) melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. (Al-Hajj:25)[3].

Wallahu a’lam”. 

***

Catatan kaki
[1] Kalimat ini tidak penulis temukan di kitab aslinya:  Asy- Syarhul Mumti‘ 7/227, wallahu a’lam

[2] Kalimat ini tidak penulis temukan di kitab aslinya:  Asy- Syarhul Mumti‘ 7/227, wallahu a’lam

___

Sumber: Islamqa.info/ar/38213

Penerjemah: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25930-apakah-dosa-dilipatgandakan-di-bulan-dan-tempat-yang-mulia.html
Share:

Pahala Amalan di Bulan Ramadhan 1000 Kali Lipat Dibanding Bulan Lain, Benarkah?

Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 1441 H Seluruh Indonesia ...By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 

Berlipatnya pahala amalan di bulan Ramadhan bisa jadi dilihat dari sisi jumlah (kuantitas) atau dari sisi besar (kualitasnya). Benarkah pahala amalan di bulan Ramadhan 1000 kali lipat dibanding bulan lainnya?

Amalan yang Berlipat Pahalanya di Bulan Ramadhan
Ada beberapa dalil yang menunjukkan pahala yang berlipat pada sebagian amal dan sebagian waktu di bulan Ramadhan.

1- Amalan puasa
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibanding amalan lainnya, maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 271)

2- Amalan di malam Lailatul Qadar
Lailatul qadar akan dilipatgandakan pahala sebagaimana disebutkan dalam ayat,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 3). Maksudnya adalah ibadah di malam Lailatul Qadar lebih baik dari ibadah di seribu bulan lamanya.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Amalan yang dilakukan di malam Lailatul Qadar lebih baik daripada amalan yang dilakukan di seribu bulan yang tidak terdapat Lailatul Qadar. Itulah yang membuat akal dan pikiran menjadi tercengang. Sungguh menakjubkan, Allah memberi karunia pada umat yang lemah bisa beribadah dengan nilai seperti itu. Amalan di malam tersebut sama dan melebihi ibadah pada seribu bulan. Lihatlah, umur manusia seakan-akan dibuat begitu lama hingga delapan puluh tahunan.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 977)

3- Umrah di bulan Ramadhan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang wanita,

مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا

“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”

Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya –ditunggangi suami dan anaknya-. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256).

Dalam lafazh Muslim disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Muslim no. 1256)

Dalam lafazh Bukhari yang lain disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863)

Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (8: 442) berkata, “Maksud senilai dengan haji adalah sama dan semisal dalam pahala.” Akan tetapi yang sebenarnya terjadi pahala haji lebih berlipat-lipat daripada pahala umrah. Karena haji adalah salah satu rukun Islam.

Baca artikel: Umrah Ramadhan Seperti Haji Bersama Nabi

Berlipatnya Pahala dengan Bilangan Tertentu
Berlipatnya pahala amalan dengan bilangan tertentu memang disebutkan dalam hadits. Namun haditsnya adalah hadits yang dha’if. Juga ada kalam ulama yang mendukung. Namun kalam tersebut cuma sekedar perkataan untuk memotivasi dan membangkitkan semangat.

Ada hadits yang menyebutkan berlipatnya pahala amalan di bulan Ramadhan dengan bilangan tertentu seperti hadits,

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة، وقيام ليله تطوعا ، من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه، ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه

“Wahai sekalian manusia, telah datang pada kalian bulan yang mulia. Di bulan tersebut terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasanya dijadikan sebagai suatu kewajiban. Shalat malamnya adalah suatu amalan sunnah. Siapa yang melakukan kebaikan pada bulan tersebut seperti ia melakukan kewajiban di waktu lainnya. Siapa yang melaksanakan kewajiban pada bulan tersebut seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di waktu lainnya.” (HR. Al-Mahamili dalam Al-Amali 5: 50 dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1887. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini munkar seperti dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 870)

Contoh perkataan ulama yang menyatakan bahwa pahala amalan di bulan Ramadhan berlipat-lipat dengan lipatan bilangan tertentu.

Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhal dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 270)

An-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Puasa sehari di bulan Ramadhan lebih afdhal dari puasa di seribu hari lainnya. Begitu pula satu bacaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) di bulan Ramadhan lebih afdhal dari seribu bacaan tasbih di hari lainnya. Begitu juga pahala satu raka’at shalat di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu raka’at di bulan lainnya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 270)

Baca artikel: Berlipatnya Pahala Amalan di Bulan Ramadhan

Kesimpulannya, berlipatnya pahala amalan dengan bilangan tertentu di bulan Ramadhan tidak disebut secara rinci dalam dalil. Sehingga setiap muslim hendaknya bersungguh-sungguh untuk melakukan amalan shalih di bulan Ramadhan sehingga bisa mengumpulkan berbagai keutamaan.

Semoga kita dimudahkan meraih limpahan pahala di bulan Ramadhan.



Referensi:
Lathaif Al-Ma’arif. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, Al-Mula ‘Ali Al-Qari. Maktabah Syamilah.

Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karimir Rahman). Cetakan kedua tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 221733


Selesai disusun ba’da ‘Ashar, 12 Ramadhan 1436 H di Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.



Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/11279-pahala-amalan-di-bulan-ramadhan-1000-kali-lipat-dibanding-bulan-lain-benarkah.html
Share:

WAHAI SALAFI, INGINKAH ENGKAU MASUK KUBANGAN POLITIK???!!!

Oleh
Ustadz Abu Nafisah Abdurrahman Thayib

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada hari-hari seperti ini kita mendapati pembahasan seputar pemilu 2014 sebagai pembahasan terhangat diberbagai media massa dan media elektronik. Berbagai elemen masyarakat banyak disibukkan dengannya, mulai dari pakar politik hingga orang awam. Pembahasan tersebut seolah menjadi menu dan bahan obrolan yang sangat amat mengasyikkan hingga menyita banyak waktu, tenaga, pikiran bahkan harta mereka. Tapi ini tidak asing bagi mereka dan di dalam dunia mereka.

Namun yang sangat disayangkan, penyakit di atas menular pula ke dalam diri orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pengikut Dakwah Salafiyah yang murni dari kotoran politik ini atau mungkin ada juga yang sebagai penyusup ke dalamnya tanpa disadari. Kita lihat sebagian mereka berdebat kusir tentangnya di majlis-majlis obrolan, FB,WA dan internet. Sebagian lagi bahkan melakukan apa yang diistilahkan dengan kampanye hitam untuk mendukung salah satu capres dan menjatuhkan yang lainnya[1]. Setiap hari menyeru umat untuk masuk kandang politik. Sebagian lagi bahkan menulis “Mungkinkah seorang salafi masuk dalam parlemen ? Jawabnya mungkin”. Bahkan dia juga mengatakan “Mungkinkah Salafiy membentuk partai?”Jawab saya : “Mungkin”. Na’udzu billahi min dzalik. Sebagian lagi meramal dengan ramalan yang batil yang muncul dari pemikiran yang kerdil dan picik “Jika….jadi presiden bisa jadi salafi akan dilarang sebagaimana Ikhwanul Muslimin[2] dilarang di Mesir”.

Apakah ini yang diinginkan oleh para ulama yang berpendapat bolehnya ikut pemilu karena untuk memilih yang lebih ringan madharatnya???!!! Apakah ini yang juga difatwakan dan dipratekkan oleh para ulama tersebut???!!! Ataukah ini telah keluar batas dari fatwa mereka ???!!! Ataukah mereka sudah menganggap diri sebagai ulama yang siap berijtihad setiap saat???!!![3] Apakah karena gelar atau popularitas yang tinggi hingga mereka lupa diri???!!! Laa haula wa laa quwwata illa billahi.

Inilah fenomena yang amat memprihatinkan sekarang ini dalam Dakwah Salafiyah di negeri ini. Hari-hari yang dulu sejuk dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta atsar salafushshaleh berganti dengan isu-isu politik yang panas, kotor dan keji[4]. Pembahasan tauhid Asma’ Wa shifat terkalahkan dengan permainan nama-nama capres.

لِمِثْلِ هَذَا يَذُوْبُ القَلْبُ مِنْ كَمَدٍ إِنْ كَانَ فِيْ القَلْبِ إِسْلَامٌ وَإِيْمَانُ

Padang Pasir Paling Mahal di Afrika Sob! | LAzone.idKarena inilah hati meleleh dengan 

Jika dalam hati itu masih ada keislaman dan keimanan

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. [Ali–Imran/3 : 8]

Inilah fenomena baru yang menyusup dalam Dakwah Salafiyah di negeri yang kita cintai ini –semoga Allah menganugerahkan pemimpin yang terbaik bagi Islam dan kaum muslimin di negeri ini-. Bahkan salah satu saudara kita hafidzahullahu berkata : “Ini merupakan fitnah besar selama Dakwah Salafiah di Indonesia. Ini masalah besar umat, kok beraninya beberapa ustadz berfatwa”[5]. Tidakkah mereka takut menjadi orang-orang yang mencontohkan dalam Islam jalan kejelekan hingga dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya ?![6] Nas’alullaha As-Salaamah wa A’fiyah.

Wahai saudaraku, simaklah dan renungkanlah nasehat seorang ulama rabbani, murid sejati ahli hadits abad ini (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani), yang kokoh dalam manhaj salafi meski badai dan topan terus menghujani. Inilah tetesan-tetesan nasehat Syaikh Ali Bin Hasan Al-Halaby Al-Atsari As-Salafi –semoga Allah menjaga beliau dan tetap mengokohkan beliau di atas kebenaran sampai akhir hayat beliau nanti-. Mudah-mudahan hati-hati yang kering karena suhu politik yang terus membakar dapat tersirami. Semoga petuah-petuah ini dapat membersihkan noda-noda politik yang telah menempel dalam pikiran dan hati sanubari. Dan semoga dapat mengembalikan mereka yang telah atau hampir jatuh dalam kubangan politik kemunafikan nan keji[7].

1. Wahai para dai yang menyeru ke jalan Allah, jagalah persatuan (di atas manhaj salafi). Dan janganlah kalian kotori dengan masuk ke dalam kubangan politik di zaman ini yang penuh warna-warni (politik Bunglon).[8]

2. Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata : Apabila politik telah masuk ke dalam diri sekelompok manusia maka dia akan lebih banyak merusak daripada fanatik madzab (fiqih). Karena politik selalu membutuhkan fleksibilitas dan permainan (selalu berubah-rubah alias bunglon).[9]

3. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berkata : Hizbiyah (fanatik partai) merupakan sebab utama kebodohan kaum muslimin, mereka sibuk dengannya dan meninggalkan ilmu yang bermanfaat.[10]

4. Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullahu berkata : Dikala kaum muslimin telah meninggalkan fanatik terhadap madzhab fiqih, partai-partai itu meniupkan fanatik dari sisi lain yang lebih parah pengaruh dan dampaknya.[11]

5. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah meluruskan langkahmu-, bahwa seorang dai salafi di dalam mengemban Dakwah Salafiyah yang diberkahi ini, yang berdiri di atas pondasi agama ini seperti memerangi fenomena khurafat, syirik, bid’ah, memberantas kebodohan dan menebarkan ilmu syar’i…..Dia tidak memiliki selain pondasi tersebut, dia menegakkannya, berdiri di atasnya serta menyeru kepadanya. Baik dia sebagai seorang penuntut ilmu, pengajar, seorang alim dari awal hingga akhir…….Inilah yang dilakukan oleh semua dai salafi…..yang hasilnya adalah –dengan taufik dari Allah- apa yang telah Allah janjikan dalam firman-Nya :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. [An-Nuur/24:55].[12]

6. Wahai para da’i yang shadiq (jujur)….Wahai para penuntut ilmu yang amanah, ini (ilmu dan dakwah) adalah medan kalian maka jangan kalian tinggalkan. Inilah dakwah kalian maka jangan kalian campakkan[13]… Tidaklah aku ingin mengucapkan kepada setiap yang menyelisihi nukilan-nukilan yang dibangun di atas kaidah dan ketentuan serta pondasi ini melainkan

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ?(QS.Al-Baqarah : 61)[14]

7. Sesungguhnya masuk ke dalam kancah politik dengan segala bentuk dan lika-likunya adalah menjerumuskan diri ke dalam penyerupaan kepada perjudian.

8. Wahai saudaraku, dai yang menyeru ke jalan Allah, jika engkau jujur pada dirimu sebelum kepada yang lain, jauhkanlah dirimu dari perjudian yang berbahaya ini. Jangan engkau korbankan dakwah ini untuk menjalin kesepakatan (dengan partai tertentu). Jangan engkau menjatuhkan diri dari ketinggian ke dalam terowongan.[15]

9. Barangkali mereka yang menginginkan untuk masuk ke kubangan politik (Hizbiyah) bisa menerima ucapan seorang dai tersohor di Mesir sekarang ini dan dia termasuk yang menyuarakan Dakwah Salafiyah –Semoga Allah memberi hidayah kepada kita, kalian dan dia ke jalan keselamatan-. Ucapan tersebut dia sampaikan di hadapan banyak khalayak beberapa saat yang lalu (dengan nada penyesalan). Dan dia telah menancapkan kedua kakinya ke dalam kubangan politik serta memobilisasi massa hingga ratusan ribu orang bahkan jutaan manusia…dia berkata : Laknat Allah atas politik.[16]

10. Seolah-olah mereka (yang telah terjerumus ke dalam kubangan politik dan muak serta menyesalinya) mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh pendahulu mereka (filosof/ahli kalam) : Barangsiapa yang mengalami apa yang aku alami maka dia mengetahui apa yang telah aku ketahui.[17]

11. Wahai orang-orang yang berakal -semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepada kalian untuk meraih ridho-Nya- tidakkah kalian mengambil ibrah dari pengalaman mereka dan meraih manfaat dari wejangan ilmiah dan amaliyah (teori dan praktek) dari mereka. Mungkin wejangan tersebut bisa mencegah kalian dari terjatuh ke dalam kejelekan dan bala’ yang cepat datang seperti wabah penyakit ?! Dan tidaklah kalian –semoga Allah mengampuni dosaku dan kalian- mengamalkan wasiat seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang telah berkata : “Orang yang berbahagia adalah yang dapat mengambil ibrah dari orang lain”.[18] [HR.Muslim 2645]

Berapa kali kita mengatakan sebelum dan sesudah ini : Barangsiapa yang tidak bisa menerima dalil maka hendaklah dia bisa menerima kenyataan yang pahit ini (untuk segera bertaubat dari kubangan politik).[19]

12. Kewajiban kita yang harus terus dijaga -meski ada yang enggan dan ada yang suka- adalah menjaga Islam dengan segala kebersihan dan kesuciannya serta di atas manhaj salafi yang haq dengan penuh kejelasan dan transparan. Alangkah indahnya panggilan hati dan pena Al-‘Allamah As-Salafi Al-Jazaairi Muhammad Al-Basyiir Al-Ibrahimi rahimahullahu yang beliau tuangkan sekitar setengah abad yang lalu…”Aku wasiatkan kalian untuk menjauhkan diri dari partai-partai yang kemunculannya mendatangkan keburukan-keburukan dan orang-orangnya menyerang untuk mengkikis kebaikan dan ilmu….Sesungguhnya partai-partai ini seperti talang air. Dia mengumpulkan air keruh dan menuangkannya kemana-mana. Bukan air jernih yang dia kumpulkan dan bukan manfaat pula yang diperoleh.

Wahai para pemuda, raihlah ilmu dan ilmu ! Jangan engkau tertipu oleh para makelar politik yang meniup dalam talang air (meski berkedok salafi). Jangan engkau tertipu dengan para jurkam yang berteriak-teriak di lapangan kampanye. Janganlah engkau meninggalkan ilmu karena rayuan para komentator politik….Mereka semua adalah para pesulap yang menipu dan tukang sihir yang amat pendusta. Sesungguhnya kalian jika mengikuti ajakan mereka yang sesat dan bergabung dengan para penebar fitnah maka kalian dan negeri kalian akan rugi dan kalian akan menyesal pada suatu hari ketika manusia yang lain telah memetik buah hasil kebaikannya, namun tidak akan ada manfaat menyesal pada saat itu.” [Dalam kitab beliau ‘Uyuunu Al-Bashaair 350-351][20]

13. Wahai para penuntut ilmu, wahai para dai yang menyeru ke jalan Allah, aku rasa engkau tidak lupa dengan jihadnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu baik dari sisi ilmu, aqidah, manhaj di berbagai negeri semisal Mesir atau Syam. Beliau pernah berkata dari awal hingga akhir (hidup beliau) : “Aku adalah manusia agama bukan manusia (politik) negara”. Maka jadilah engkau seperti beliau.[21]

Mudah-mudahan petuah-petuah beliau dan para ulama tersebut di atas bisa menerangi kegelapan hati mereka yang telah ternodai. Dan semoga Dakwah Salafiyah dan para pengibar benderanya kembali dan terus cerah bersinar di negeri ini tanpa terkotori.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya. [Qaaf/50 : 37]

[Surabaya, 1 Sya’ban 1435 H / 30 Mei 2014 M, Disusun Oleh Ustadz Abu Nafisah Abdurrahman Thayib, Dicopy dari http://makalahku.wordpress.com/2014/05/30/wahai-salafi-inginkah-engkau-masuk-kubangan-politik/]
_______
Footnote
[1]. Yang agak lucu dan unik atau aneh bin ajaib, ketika saudara kita tersebut ikut mendukung capres tertentu ternyata musuh bebuyutannya yang dikupas habis kesesatannya khususnya dalam pembelaannya terhadap Syiah Rafidhah ternyata sekarang sama-sama satu barisan dalam mendukung capres tersebut. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

الله أخر موتتي فتأخرت حتى رأيت من الزمان عجائب

Allah mengakhirkan kematianku maka aku pun masih hidup hingga aku melihat di zaman ini banyak hal yang aneh bin ajaib.

Tulisan ini tidak membahas apa yang diistilahkan oleh sebagian ikhwah dengan masalah ikhtilaf ijtihadi antara para ulama yang membolehkan atau tidak membolehkan ikut dalam pemberian suara ketika pemilu. Namun masalahnya sekarang lebih dari itu semua, melampaui batas, melewati garis dan telah masuk ke dalam tanah larangan (kubangan politik). Dakwah Salafiyah dan kita pun berlepas diri darinya.

[2]. Apakah orang yang mengucapkan ini ingin untuk menyamakan antara Ikhwanul Muslimin dengan Dakwah Salafiyah ?! Kalau ya, maka sungguh bodohnya dia. Atau apakah dia ingin untuk membela Ikhwanul Muslimin ?! Atau apakah dia memang pengikut Ikhwanul Muslimin yang berkedok salafi?! Maka sungguh malang nasibnya. Tahukah dia, apa sebabnya mereka dilarang ?! Sadarkah dia bahwa disana Salafi tidak dilarang ?! Allahu yahdihi
[3]. Diantara fenomena yang amat memprihatinkan di zaman teknologi dan gadget ini adalah kelancangan sebagian penuntut ilmu dalam berfatwa (soal jawab) dan berkomentar serta dalam menulis masalah agama di dunia maya dengan secepat kilat, tanpa rujukan/ilmu, tanpa ketelitian dan tanpa berpikir panjang. Allahu al-Musta’aan
[4]. Berita-berita media massa pun seolah telah menjadi rujukan ilmu yang qath’i hingga lupa untuk diteliti.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS.Al-Hujurat : 6)

Inilah penyakit hizbiyyin (gila fiqhul waqi’) yang sedang menular dikalangan sebagian orang yang menamakan dirinya salafi.

[5]. Ucapan ini dilontarkan setelah munculnya fatwa dari seorang ustadz untuk memilih caleg partai tertentu di dunia maya. Hadaanallahu wa iyaahu.
[6]. Sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim.
[7]. Dinukil dan diterjemahkan dari kitab beliau yang berjudul Al-Huda Wa An-Nuur fii Hatki Sutuuri Al-Hizbiyah Dzati Asy-syuruur (Petunjuk dan cahaya yang menyingkap tirai hizbiyah yang penuh kejelekan).
[8]. Al-Huda Wa An-Nuur hal.8
[9]. Idem hal.25
[10]. Idem hal.30-31
[11]. Idem hal.31
[12]. Al-Huda Wa An-Nuur hal.35
[13]. Politik sekarang ini (yang tidak syar’i) bukan medan anda wahai salafi, maka keluarlah darinya. Salafi yang masuk ke dunia politik meski hanya satu kaki saja, dia seperti ikan yang keluar dari aquarium, cepat atau lambat dia pasti akan binasa.

ليس هذا بعشك فادرجي

Ini bukan sangkarmu maka keluarlah darinya.

[14]. Idem hal.37.
[15]. Al-Huda Wa An-Nuur hal 43
[16]. Idem 45.
[17]. Idem hal.48. Wahai Salafi, engkau mencela ilmu kalam dan ahli kalam, tapi sekarang dirimu jatuh ke dalam kubangan ahli kalam. Tidakkah engkau takut menyesal dikemudian hari seperti yang dikatakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Raazi (tokoh ahli kalam) :

نهاية إقدام العقول عقال وغاية سعي العالمين ضلال

وأرواحنا في وحشة من جسومنا وحاصل دنيانا أذى ووبال

ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا سوى أن جمعنا فيه قيل وقالوا

Akhir dari menuhankan akal adalah kebingungan dan puncak usaha manusia (ahli kalam) adalah kesesatan

Arwah-arwah kami dalam keadaan galau di dalam jasad-jasad kami dan hasil dari dunia kami adalah bala’ dan malapetaka

Kami tidak dapat mengambil faedah dari pembahasan kami (ilmu kalam) sepanjang usia kami melainkan kita hanya mengumpulkan isu-isu manusia (ahli kalam/filosof) . (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah oleh Ibnu Abi Al-‘Izzi Al Hanafi hal.208 takhrij Syaikh Al-Albani)

Alangkah miripnya mereka dengan orang-orang yang bergelimang dengan isu, lumpur dan noda politik.

[18]. Jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya dan jangan sampai menjadi ikan-ikan yang dungu yang mudah terpancing hingga binasa. Na’udzu billah
[19]. Al-Huda Wa An-Nuur hal.49.
[20]. Al-Huda wa An-Nuur hal.51.
[21]. Idem hal. 52.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3930-wahai-salafi-inginkah-engkau-masuk-kubangan-politik.html

Share:

Mengajari Anak Mencintai Pemerintah Muslim

Mengenal Singa Padang Pasir | Jalan SirahTerkadang secara tak sadar, orang tua menanamkan kepada anak rasa ketidakpuasan terhadap penguasa negerinya. Lewat obrolan dengan orang lain, meluncur ungkapan-ungkapan celaan bahkan hujatan terhadap sang penguasa. Tampaknya hanya sekadar curhat. Namun, tanpa disangka, sepasang telinga kecil menangkap pembicaraan itu, lalu menghunjam di sanubarinya.

Berbekal opini dari orang tuanya terhadap penguasanya yang dipandang penuh kekurangan, tumbuhlah dia sebagai pemuda yang tidak puas dan benci dengan pemerintahnya. Tinggallah orang tua yang terhenyak, saat suatu hari nama anaknya tercatat sebagai anggota teroris. Wal ‘iyadzu billah….

Kita tentu tak pernah berharap hal itu terjadi pada diri kita dan anak-anak kita. Bahkan kita mohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla agar dijauhkan dari itu semua.

Selain doa yang kita panjatkan, tentu ada upaya yang harus ditempuh oleh orang tua dalam membimbing anaknya. Kita harus mengetahui bimbingan syariat dalam hal ini. Sembari memohon pertolongan dan taufik dari Allah ‘azza wa jalla, kita akan menelaah masalah ini melalui kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah.

Dalam poin pembahasan Tarbiyatuhum ‘ala Mahabbatil ‘Ulama wa Wulatil Amr dijelaskan bahwa di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh ayah dan ibu adalah mendidik anak-anak untuk mencintai ulama dan pemimpin negerinya.

Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dirham atau dinar, tetapi sematamata mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil ilmu tersebut, berarti dia telah mengambil bagian yang melimpah dari warisan tersebut.

Di samping itu, apabila orang tua menanamkan pada diri anak sikap keraguan terhadap para ulama dan ilmu mereka, tidak menghormati mereka, serta menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka di hadapan anak, semua ini akan menimbulkan bahaya besar bagi umat. Sebab, ilmu diambil dari para ulama, begitu juga syariat Islam diambil dari jalan mereka pula. Sikap yang demikian kadangkala akan membawa kehancuran bagi syariat Islam.

Ketika anak tumbuh dewasa kelak, dia akan mencari orang yang akan diambil ilmunya. Dia tidak akan mengambil dari para ulama, karena sudah dibuat ragu terhadap para ulama dan ilmu mereka. Mereka akan mengambil ilmu dari para ulama sesat dan orang-orang yang berpemikiran menyimpang. Akhirnya, anak akan menjadi alat untuk merusak masyarakat.

Adapun ulil amri adalah orang-orang yang menangani segala urusan rakyat, menegakkan syariat, memelihara stabilitas keamanan, serta menjaga persatuan kaum muslimin. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

        “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan taatilah ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

Ulil amri yang dimaksud dalam ayat adalah para ulama dan penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di berbagai forum melakukan ghibah dan namimah terhadap penguasa. Mereka menyingkap dan mengungkap kesalahan-kesalahan mereka. Padahal kalau dia mau melihat kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri, niscaya lebih banyak daripada kesalahan penguasa yang dia ungkapkan. Cukuplah bagi seseorang mendapatkan dosa jika dia memberitakan semua yang didengarnya.

Amat disayangkan pula, anak-anak duduk di majelis yang semacam ini. Mereka menyerap ucapan seperti ini dan tumbuh dewasa di atas kebencian terhadap para ulama dan penguasanya. Semua ini akan menjadi sebab timbulnya kerusakan, munculnya tuduhan bid’ah atau fasik terhadap ulama dan penguasa tanpa dilandasi ilmu.

Seringkali ucapan yang dinukil tentang ulama dan penguasa tersebut adalah kedustaan dan kebohongan, tanpa ada hujah dan bukti. Itu semata-mata propaganda musuh Islam dan musuh akidah yang murni ini.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah berkata, “Bukan merupakan manhaj salaf, perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebut-nyebutnya di atas mimbar. Ini akan menyeret pada penentangan serta keengganan untuk mendengar dan menaati penguasa dalam hal yang ma’ruf. Perbuatan tersebut juga akan menyebabkan sikap memberontak yang amat berbahaya dan sama sekali tak ada manfaatnya.

“Jalan yang ditempuh oleh para salaf adalah menasihati penguasa secara empat mata, menulis surat kepada mereka, atau menyampaikannya melalui para ulama yang dapat menyampaikan hal itu kepada penguasa, sehingga ulama tersebut bisa mengarahkan sang penguasa pada kebaikan.” (al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqah bainal Hakim wal Mahkum, hlm. 22)

Manhaj salaf dalam menyikapi kesalahan penguasa adalah tidak mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak pula menyebarkan kesalahan-kesalahan penguasa di hadapan banyak orang. Sebab tindakan tersebut bisa menyeret pada berbagai hal buruk yang lebih besar, dan berujung pemberontakan kepada penguasa.

Pernah ada yang bertanya kepada Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, “Mengapa Anda tidak menemui Utsman untuk menasihatinya?”

Usamah pun menjawab, “Apakah kalian anggap aku ini harus memperdengarkan kepada kalian jika aku menasihatinya? Sungguh, aku telah menasihatinya empat mata. Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka (secara terang-terangan, -ed.) suatu perkara!” (Dikeluarkan al-Imam Ahmad dalam al-Musnad, 36/117, 21784, al-Bukhari no. 3267, Muslim no. 2989; dan lafadz ini dalam riwayat Muslim)

Diterangkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang dimaksud oleh Usamah, beliau tidak ingin membuka pintu mujaharah (terang-terangan) mengingkari penguasa, karena mengkhawatirkan berbagai dampak buruknya. Beliau justru bersikap lemah-lembut dan menasihatinya secara diam-diam.

Sebab, nasihat dengan cara seperti ini lebih layak diterima.” (Dinukil dalam Fathul Bari, 13/67, 7098)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan, “Ada orang-orang yang setiap majelisnya berisi pembicaraan jelek terhadap penguasa, menjatuhkan kehormatan mereka, menyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, tanpa memedulikan sama sekali berbagai kebaikan dan kebenaran yang ada pada penguasa tersebut. Tidak diragukan lagi, melakukan cara-cara seperti ini dan menjatuhkan kehormatan penguasa tidak akan menambah apa-apa selain memperberat masalah.

“Cara seperti ini tidak bisa memberikan solusi dan tidak melenyapkan kezaliman. Ia justru hanya menambah musibah bagi suatu negeri, menimbulkan kebencian dan antipati terhadap pemerintah, serta memunculkan keengganan untuk melaksanakan perintah penguasa yang seharusnya wajib ditaati.”

“Tidaklah kita ragukan bahwa terkadang pemerintah melakukan hal-hal yang negatif atau berbuat kesalahan, seperti halnya anak Adam yang lainnya. Setiap anak Adam pasti banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak salah adalah yang banyak bertobat (sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Kita pun tidak menyangsikan bahwa kita tidak boleh mendiamkan seorang pun yang berbuat kesalahan. Semestinya kita menunaikan kewajiban nasihat bagi Allah ‘azza wa jalla, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah muslimin, serta bagi seluruh kaum muslimin sesuai kemampuan kita.”

“Apabila kita melihat kesalahan penguasa, kita sampaikan secara langsung, baik melalui lisan maupun tulisan yang ditujukan kepada mereka (bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak, di mimbar-mimbar atau media massa), menasihati mereka dengan menempuh jalan yang paling dekat untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan menerangkan kesalahan mereka. Kemudian kita beri nasihat, kita ingatkan kewajiban mereka agar menunaikan dengan sempurna hak orang-orang yang ada di bawah kekuasaan mereka dan menghentikan kezaliman mereka terhadap rakyatnya.” (Wujubu Tha’atis Sulthan fi Ghairi Ma’shiyatir Rahman, hlm.23—24)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Membicarakan aib penguasa adalah perbuatan ghibah dan namimah, di mana keduanya adalah keharaman terbesar setelah syirik. Apalagi jika ghibah atau namimah itu ditujukan pada ulama dan penguasa, ini lebih parah lagi. Sebab, bisa menyeret pada berbagai kerusakan: memecah-belah persatuan, buruk sangka terhadap pemerintah, dan menumbuhkan pesimisme serta keputusasaan pada diri rakyat.” (al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah, hlm. 60)

Tentang masalah ini, para ulama Ahlus Sunnah—baik yang terdahulu maupun sekarang—berdalil dengan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

    Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

        مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa melihat pada penguasanya sesuatu yang dia benci, hendaknya dia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jamaah (penguasa) satu jengkal saja lalu dia mati, matinya seperti mati orang jahiliah.”[1]



    Dari ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي السُّلْطَانِ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، فَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati penguasa, janganlah dia sampaikan secara terbuka. Hendaknya dia gamit tangan penguasa itu (untuk menasihatinya secara diam-diam). Jika penguasa itu mau mendengar (nasihatnya –pen.), itulah yang diharapkan. Jika tidak, dia telah menunaikan kewajibannya.”[2]



    Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ، قَالُوا :قَالَ رَسُولُ اللهِ: لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَ تَغُشُّوهُمْ، وَ تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ

“Dahulu kami dilarang oleh para tokoh kami dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan mengkhianati mereka, dan jangan pula membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena urusannya dekat’.”[3]



    Dari Ziyad al-‘Ad i , beliau menceritakan, “Aku pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang saat itu sedang berkhutbah sembari mengenakan pakaian sutra.

Abu Bilal berkata, ‘Coba kalian lihat pimpinan kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasik!’

Abu Bakrah pun menyahut, ‘Diam! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ

“Barang siapa menghinakan penguasa Allah di dunia, niscaya Allah akan hinakan dia.”[4]



Demikian ini adalah pengajaran dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap hamba, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk ditanamkan kepada anak-anaknya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

(Diterjemahkan dari kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah, karya ‘Abdus Salam bin ‘Abdillah as-Sulaiman, hlm.39—42, oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

[1] HR. al-Imam Ahmad (4/290)(2487), al-Imam al-Bukhari (7053,7143), dan al-Imam Muslim (1849)(55).

[2] HR. al-Imam Ahmad (24/48-49)(15333) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/507)(1096).

[3] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/474)(1015) dan al-Baihaqi dalam al-Jami’ li Syu’abil Iman (10/27) (7117).

[4] HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (34/79)(20433), at-Tirmidzi (2224) dan lafadz ini dalam riwayat beliau. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.
Share:

NASEHAT UNTUK PENDIRI ORGANISASI, JAMA’AH DAN PARTAI [Tafsir Al-Qur’an Surat Al-An’am ; 159]

Ada Oase Sejuk di Gersang Padang Pasir - Kompasiana.comOleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq bin 

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Artinya ; Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Alloh, kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” [Al-An’am ; 159]

MUQADDIMAH
Lembaga Dakwah pada zaman sekarang menyebar di mana-mana. Mereka mendirikan organisasi, partai dan beberapa jama’ah, mereka berdalih untuk memperjuangkan Islam. Akan tetapi kenyataan yang ada, mereka saling berpecah-belah. Mereka merasa kelompoknya yang paling benar, para pengikutnya pun merasa bangga dengan pemimpinnya, keputusan pemimpin seperti wahyu ilahiah yang tidak boleh dibantah dan harus ditaati, terancam jiwanya bila dikritik karena salah keputusannya, mau mengkritik akan tetapi tidak mau dikritik, kadang kala menolak da’i yang bukan golongannya apabila dianggap merugikan kelompoknya sekalipun da’i itu benar, mereka merasa sedih bila anggotanya keluar. Inilah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bagi orang yang tahu hakikatnya. Benarkah demikian cara kita memperjuangkan Islam? Insya Alloh dengan menyimak pembahasan berikut ini dan fatwa ulama Sunnah kita akan tahu jawabannya.

MAKNA AYAT SECARA UMUM
Ibnu Katsit rahimahullah berkata : “Pemeluk agama sebelumnya berselisih satu sama lain di dalam pola berfikir. Masing-masing mengaku bahwa kelompoknya yang benar, umat ini pun berselisih satu sama lain di dalam beragama, semuanya tersesat kecuali satu yaitu Ahlus Su’nnah wal Jama’ah, yaitu mereka yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan generasi pertama dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in dan para ulama kaum muslimin (salaf) dahulu dan sekarang, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrok-nya ketika Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang golongan yang selamat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka adalah orang yang mengikuti Sunnahku pada hari ini dan Sahabatku” [Tafsir Ibnu Katsir 5/282]

Ayat ini diperhatikan secara serius oleh ulama Sunnah, oleh karena itu sungguh amat beruntung apabila kita dalat mengambil ilmu mereka. Mari kita simak nasehat mereka.

FAWAID AYAT
[a]. Tanda orang musyrik, mereka suka berpecah-belah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Orang musyrik suka mengganti dan merubah agamanya, mereka beriman terhadap sebagian akan tetapi menolak sebagian yang lain. Mereka meninggalkan agamanya seperti orang Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala dan semua pengikut agama yang bathil sebagaimana dicantumkan di dalam ayat ini (Al-An’am ; 159)” [Tafsir Ibnu Katsir 6/282)

[b]. Hindari partai dan golongan yang merusak persatuan umat dan agama
Ibnu Jarir At-Thobari rahimahullah berkata : “Orang yang tersesat mereka meninggalkan agamanya dan sungguh partai dan golongan telah memecah belah agama yang diridhoi Alloh untuk para hamba-Nya, sehingga sebagian menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Inilah yang dinamakan perpecahan, mereka bergolong-golongan tidak mau bersatu, mereka mengerti agama yang benar, akan tetapi meninggalkannya dan memecah-belah” [Tafsir At-Thobari 8/78]

[c]. Pemecah-belah umat bukan golongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh dari As-Sudi bahwa maksud ayat “ wahai Nabi kamu tidak diperintah untuk memerangi mereka”, lalu dihapus ketetapan ini dengan surat Al-Baqoroh : 92, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah memerangi mereka. Abul Ahwash berkata : “Nabimu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang berselisih” [Durul Mansur 3/400]

Adapun faidah yang lain, masih banyak sekali sebagaimana tertulis dalam kitab tafsir dan lainnya.

ORGANISASI, PARTAI DAN HUKUMNYA
Organisasi ialah kumpulan beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing dengan tujuan yang sama dan disusun secara berstruktur.

Persatuan adalah gabungan dari beberapa bagian yang sudah bersatu dalam suatu lembaga.

Himpunan adalah organisasi atau perkumpulan yang bersatu dalam satu wadah karena satu idiologi [Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer : 1063]

Yayasan ialah badan hukum yang tidak beranggota, ditangani oleh pengurus, didirikan dengan tujuan mengupayakan layanan dan bantuan sosial seperti sekolah, rumah sakit dan sebagainya. [Halaman : 1727]

Partai politik adalah kumpulan orang yang mempunyai asas, haluan, pandangan, serta tujuan yang sama di bidang politik. [Halaman ; 1099]

Dari keterangan di atas diketahui bahwa organisasi atau kelompok yang didirikan untuk urusan duniawi menurut asal hukumnya adalah halal, kecuali bila organisasi tersebut membawa mafsadah atau kerusakan pribadi, umat atau agama Islam, maka hukumnya haram, sebagaimana kaidah usul yang mengatakan al-ashlu fil-asyya’-al-ibahah (asal segala sesuatu hukumnya mubah).

“Dia-lah Alloh yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” [Al-Baqoroh : 29]

HUKUM MENDIRIKAN ORGANISASI DAKWAH
Bagaimana bila mendirikan partai, jama’ah, golongan dengan tujuan berdakwah!? Berikut ini jawabannya.

“Dan janganlah kamu termasuk orang yang menyekutukan Alloh yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [Al-Rum : 31-32]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak boleh bagi siapa pun mengangkat orang mengajak umat ini untuk mengikuti pola hidup dan peraturannya, senang dan membenci karena dia selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma ulama Sunnah. Adapun ciri ahli bid’ah mereka mengangkat pemimpin dari umat ini, atau membuat peraturan yang mengakibatkan umat berpecah belah, mereka mencintai umat karena mengikuti peraturan golongannya dan memusuhi orang yang tidak mengikuti golongannya” [Dar’ut Ta’arudh 1/149]

Selanjutnya beliau rahimahullah berkata ;”Dan tidak boleh seorangpun membuat undang-undang yang dia menyenangi orang atau memusuhinya dengan dasar peraturannya, bukan peraturan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 20/164]

Syaikh Sholih Fauzan (anggota Kibarul Ulama Saudi Arabia) ditanya : “Kita sering mendengar istilah jama’ah-jama’ah (golongan-golongan) Islam pada zaman sekarang yang telah menyebar di dunia. Dari mana istilah penamaan ini?

Beliau menjawab :”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tahu kepada kita cara beramal, beliau tidaklah meninggalkan sesuatu yang dapat mendekatkan umat ini kepda Alloh melainkan beliau telah menjelaskannya, dan tidaklah meninggalkan sesuatu yang membuat manusia jauh dari Alloh melainkan beliau telah menjelaskannya. Termasuk perkara yang kamu tanyakan ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian hidup (setelah aku meninggal dunia) akan menjumpai perselisihan yang banyak. Bagaimana cara menanggulanginya ketika peristiwa ini terjadi? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wajib bagimu berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku, hendaknya kamu berpegang kepadanya, dan gigitlah dengan gigi gerahammu, jauhkan dirimu dari perkara baru, karena setiap perkara baru bid’ah dan setiap bid’ah dan setiap bid’ah adalah tersesat’. (Dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat Al-Irwa : 2455)
Maka dari jama’ah yang ada, apabila dia berdiri di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, terutama Khulafaur Rasyidin dan abad yang mulia, maka jama’ah dan golongan dimana saja kita masuk di dalamnya, dan wajib kita bekerja sama dengan mereka. Adapun jama’ah yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib menjauhinya, walaupun dia mengatakan jama’ah islamiah. Yang menjadi ukuran bukan nama, akan tetapi kenyataan. Adapun nama memang banyak dan marak kita saksikan dimana-mana, akan tetapi nihil dan bathil juga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Telah berpecah-belah orang Yahudi manjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan bepecah belah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua di neraka kecuali satu. Kami berkata ; ‘Siapa dia wahai Rasulullah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Orang yang berpijak semisal saya pada hari ini dan berpijak kepada Sunnah sahabatku”

Keterangan ini jelas dan gamblang. Jika kita menjumpai jama’ah dan ini tandanya, mereka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka mereka golongan Islam yang benar. Adapun jama’ah yang menyelisihi jalan ini, dan berjalan di atas jalan yang lain, jama’ah itu bukan golongan kita, dan kami pun bukan golongan mereka, kita tidak masuk di dalamnya, dan mereka pun tidak masuk golongan kita, mereka bukan dinamakan jama’ah, akan tetapi mereka itu firqoh (golongan pemecah-belah) dari firqoh yang tersesat. Karena itulah jama’ah tidaklah ada melainkan di atas manhaj yang benar, yang manusia bersatu di atasnya, sedangkan kebathilan pasti memecah-belah dan tidak menyatukan, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“…Dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu) “[Al-Baqarah : 137] [Al-Ajwibah Al-Mufidah an As’ilatil Manahajil Jadidah 6-8]

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid (anggota Kibarul Ulama Saudi Arabia) berkata :”Tidak boleh diangkat seorangpun untuk mengajak umat ini menuju ke jalannya melainkan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang mengangkat selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panduan hidup maka dia tersesat dan ahli bid’ah” [Hukmul Intima Ilal Firoq wal Ahzab wa Jama’at Islamiyah : 96-97]

Syaikh Abu Anas Ali berkata : “Sesungguhnya partai dan golongan yang memiliki peraturan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah ditolak oleh ajaran Islam, karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang membolehkan umat Islam berpartai dan bergolong-golongan, justru sebaliknya kita jumpai banyak dalil yang mencela berdirinya beberapa partai dan golongan, misalnya firman-Nya yang tercantum dalam surat Al-An’am : 159 dan Ar-Rum : 32, bahkan dampak yang kita ketahui dengan adanya banyak partai dan golongan satu sama lain saling menjelekkan, mencaci dan memfasikan, bahkan boleh jadi lebih dari pada itu, mengkafirkan yang lain tanpa dalil” [Kaifa Nualiju Waqanal Alim 199-200]

BENARKAH DAKWAH TIDAK AKAN MAJU TANPA ORGANISASI?
Syaikh Abu Anas Ali berkata : “Ada orang yang berkata :’Tidak mungkin dakwah akan tegak dan tersebar melainkan apabila di bawah naungan partai dan golongan’. Maka kami jawab : Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :’Pendapat ini adalah salah, bahkan sebaliknya dakwah menjadi kuat dan tersebar tatkala manusia kuat berpegang teguh kepda Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling banyak mengikuti jejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Ketahuilah wahai para pemuda! Sesungguhnya banyaknya jama’ah atau golongan adalah fakta yang menyakitkan dan bukan fakta yang menyehatkan. Saya berpendapat hendaknya umat Islam satu partai saja, yaitu yang kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [As-Shohwatul Islamiyah Dhowabith wa Taujihat oleh Syaikh Ibnu Utsaimin : 258-259]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun umat yang berpecah-belah menjadi sekian banyak golongan sehingga masing-masing mengatakan dia yang paling benar, bukan hanya ini saja, bahkan mereka menganggap sesat golongan lain, membid’ahkan golongan yang lain, membuat orang menjauhi kelompok lain, maka tidaklah diragukan bahwa ini adalah pendiskreditan dan cacat bagi umat Islam. Ini merupakan senjata yang paling kuat untuk membinasakan kebangkitan Islam yang penuh barokah ini. Maka kamu perlu menasehati saudara-saudara kami, hendaknya kalian bersatu, hindari perpecahan, kembalikah kepada jalan yang haq Inilah kewajiban setiap umat Islam” [Kajian rutin setiap bulan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin edisi pertama hal.31]

Al-Muhaddits Al-Albani ketika ditanya : “Bagaimana menurut pandangan syariat Islam, kaum muslimin bergolong-golongan, berpartai yang berbeda berorganisasi Islam, padahal satu sama lain berbeda sistemnya, caranya, seruannya, aqidahnya dan berbeda pula landasan pegangan yang menjadi pegangan mereka, padahal golongan yang benar hanya satu sebagaimana disebut di dalam hadits yang shahih?. Beliau menjawab : “Tidaklah ragu bagi orang yang berilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman salafush shalih yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa berpartai, bergabung dengan kelompok-kelompok yang berbeda pola berfikirnya, ini adalah yang pertama. Dan manhaj atau cara serta sarana yang berbeda pula, ini yang kedua, maka tidaklah Islam membolehkan hal ini sedikit pun, bahkan Alloh Pencipta kita melarang kita berpecah-belah bukan hanya satu ayat, misalnya surat Ar-Rum : 32, Hud : 118-119. Di dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla tidak mengecualikan perselisihan yang pasti terjadi, (karena ini merupakan kehendak kauni yang harus terjadi, bukan kehendak syar’i), maka Allah hanya mengecualikan golongan yang dirahmati, yaitu : “Kecuali orang yang dirahmati oleh Raabmu” [Hud : 119] [Fatwa Syaikh Al-Albani rekaman kaset nomor : 608, atau lihat Kitab Kaifa Nualiju Waqianal Alim : 201]

Syaikh Ibnu Jibrin tatkala ditanya : “Bagaimana hukumnya umat Islam mendirikan partai politik?” Beliau menjawab ; “Islam mengajak kita bersatu, dan melarang kita berpecah-belah, orang Islam dilarang berpecah-belah berdasarkan firman-Nya di dalam surat Al-Imran ; 105, surat Ar-Rum : 31-32

Dari keterangan ulama Sunnah di atas nampak jelas bahwa kenyataan yang ada, partai dan golongan yang landasannya menyimpang dari Sunnah tidaklah menjadi sebab berkembangnya dakwah Islamiyah, akan tetapi sebaliknya merusak aqidah umat. Berapa banyak para tokoh partai menghalalkan yang haram, menghalalkan bid’ah dan syirik, loyal dengan agama selain Islam karena ingin mencari pengikut dan ingin mencari kursi. Akan tetapi sebaliknya berdakwah yang dilakukan oleh perorangan dari kalangan ulama Sunnah yang kembali kepada pemahaman salafush shalih, mereka berhasil, mereka bersatu, walaupun lain tempat dan waktu. Lihat dakwah Imam Ahmad rahimahullah dan ahli hadits lainnya, ahli fikih dan ahli tafsir salafush shalih, Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama Sunnah yang baru saja meninggal dunia, misalnya Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu Utsaimin dan lainnya baik yang telah meninggal dunia atau yang masih hidup, dakwah mereka nyata, menerangi penduduk dunia, rohmatan lil alamin. Mereka berhasil memberantas kemusyrikan dan kebid’ahan, penyakit yang sangat berbahaya di dunia yang merusak tauhid dan Sunnah, padahal mereka tidak mendirikan partai, organisasi dan jama’ah yang tersesat.

BAHAYA FANATIK GOLONGAN
Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali berkata ; “Sungguh sebagian ulama telah menjelaskan kerusakan yang disebabkan oleh manusia yang fanatik kepada madzhab-madzhab atau golongan, di antaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, beliau menjelaskan kerusakannya sebagai berikut.

[1]. Menentang nash yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena fanatik kepada golongan, dan kadangkala merasa cukup dengan pendapat saja.

Penulis berkata : “Memang demikian kenyataannya, banyak pengikut terkena sihir dan tertipu oleh pemimpinnya, sehingga agama adalah apa kata pemimpinnya’.

[2]. Mengambil hadits lemah dan palsu sebagai dasar untuk mempertahankan pendapatnya, bahkan mereka berdusta dan berani membuat hadits untuk mendukung pendapatnya.

Penulis berkata : “Di antara ciri ahli bid’ah, mereka menolak hadits yang shahih dan mengambil hadits yang lemah”.

[3]. Mereka mendahulukan pendapat orang yang dianggap berilmu pada zaman sekarang dari pada ilmu ulama salafush shalih.

Penulis berkata : “Benar, karena ulama salaf pada zaman dahulu dianggap tidak tahu fiqhul waqi’ atau politik, dan dituduh dengan tuduhan jelek”

[4]. Terjerat oleh pendapat perorangan, dan tidak mau mengambil ilmu atau kebenaran madzhab yang lain, tidak mau membaca nasehat ulama, dikarenakan fanatik kepada pemimpinnya

Penulis berkata :”Memang demikian, tidak sedikit pemimpin yang rusak aqidah dan moralnya, akan tetapi karena jadi pemimpin, menjadi cermin hidup oleh pengikutnya”.

[5]. Umumnya ketetapan atau anggaran dasar setiap golongan sunyi dari dalil syar’i bahkan membecinya.

Penulis berkata : “Benar, bagaimana tidak, karena tim perumusnya dari berbagai macam aliran, sedangkan ketetapan diambil dengan cara suara terbanyak, mana yang banyak itulah yang menang.

[6]. Tersebarnya taqlid, jumud dan tertutupnya pintu ijtihad.

[Diringkas dari At-Taasshub Al-Dzamim wa Atsarohu oleh DR Rabi bin Hadi Umar Al-Madkhali 5-15]

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ada empat puluh satu bahaya dengan berdirinya partai dan golongan Islam diantaranya.

1) Mereka mengikat wala dan bara atau menyenangi dan membenci orang karena golongan.
2). Kebanyakan kelompok/golongan yang menamakan dirinya kelompok/ golongan Islam merusak Islam, lihat kelompok Baha’iyah dan Qodyaniah, dst.
3). Kami bertanya : “Apakah setiap partai membolehkan apabila ditandingi oleh partai yang lain di dalam suatu negeri? Jika dijawab boleh, ini adalah jawaban yang tidak masuk akal, dan tidak ingin umat ini menjadi baik. Jika tidak noleh, bagaimana membolehkan dirinya dan melarang orang lain? Padahal semua partai menurut dugaan mereka ingin membela Islam”.
4). Berapa banyak partai dasarnya hanya politik belaka, sunyi dari kaidah Islam, yang akhirnya merusak Islam dan dakwah Islam menjadi suram.
5). Dengan adanya beberapa golongan di dalam tubuh kaum muslimin menunjukkan adanya perpecahan didalamnya
6). Dengan banyaknya partai akan mengebiri aktivitas amal Islami
7). Masing-masing parati dan golongan menyembunyikan kebenaran Islam karena penyakit fanatic golongan.
8). Partai dan golongan pasti merupakan persaudaraan umat Islam
9). Dengan berdirinya banyak golongan pasti mencela dan memberi gelar yang jelek kepada golongan lain. Ini adalah ciri orang jahiliyah perusak Islam.
10). Partai dan golongan dibangun atas dasar suara yang banyak, tidak mau dikriitik dan dibantah.
12). Pada awalnya partai itu dibangun untuk mewujudkan amal Islami agar menjadi insan yang bertauhid, akan tetapi pada umumnya berubah menjadi bentuk yang aneh pada tubuh umat, karena ingin menyaingi partai yang lain.
13). Bahaya yang paling nampak dengan berdirinya golongan dan partai adalah lenyapnya dakwah menuju ke jalan Allah sesuai dengan dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
14). Dakwah yang dilakukan partai dibangun atas dasar pola berfikir dan rancangan kelompoknya

Inilah sebagian bahaya akibat munculnya banyak partai dan golongan. Bagi yang ingin mengetahui bahaya yang lain, silahkan baca kitab Hukmul Intima’ Ilal Firoq Wal Ahzab Wal Jama’at Al-Islamiyah oleh Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid hal. 135-152]

UMAT ISLAM PASTI BERPECAH-BELAH AKAN TETAPI WAJIB BERSATU
Fitnah yang muncul pada akhir zaman bahwa umat Islam berpecah-belah menjadi beberapa golongan, masing-masing mengaku kelompoknya yang benar, seperti halnya orang Yahudi dan orang Nasrani, mereka berpecah-belah dan mengaku bahwa hanya golongannya yang benar

“Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, Dan orang-orang Nasrani berkata : ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan’. Padahal mereka (sama-sama) membuat Al-KItab” [Al-Baqarah : 113]

Adapun dalil yang menjelaskan bawa umat Islam pada akhir zaman pasti berpecah-belah diantaranya adalah hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya bani Israil berpecah-belah menjadi tujuh puluh satu, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua, semuanya di neraka kecuali satu, dan dia adalah jama’ah” [HR Ibnu Majah ; 3983] Dishahihkan Al-Albani Shahih Ibnu Majah 2/364.

Yang dimaksud jama’ah di dalam hadits ini adalah kembali kepada yang haq, atau sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu orang yang berpijak kepada Sunnahku pada hari itu dan Sunnah para sahabatku.

Perpecahan umat Islam ini merupakan takdir kauny (kehendak Allah untuk menciptakannya) bahwa pada akhir zaman umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti berpecah-belah, akan tetapi bukan berarti kita boleh berpecah-belah, sebagaimana dalil yang selalu dikumandangkan oleh orang ahli bid’ah dalam rangka menutup aib mereka, mereka berdalil dengan hadits palsu ‘ ikhtilafu umati rahmat’ (perpecahan umat ini adalah rahmat). Ketahuilah perkataan itu bukan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hadits palsu. Syaikh Al-Albani berkata : “Para pakar ahli hadits telah mencoba mencari sanad hadits ini akan tetapi tidak menemukannya” [Lihat Silsilah Ahadits Dho’ifah 1/141]

Dalil mereka ini tidak masuk akal, karena mustahil orang yang berselisih dan berpecah-belah hidupnya penuh dengan rahmat. Bukankah pasangan suami-istri bila berselisih terancam jiwanya, bagaimana berselisih dalam hal aqidah dan ibadah merasa rahmat?! Oleh karena itu ahli bid’ah dan orang yang fanatik golongan merasa sakit hatinya bika dikritik kesalahannya.

Ketahuilah perpecahan umat ini merupakan ujian bagi orang yang beriman, hendaknya mereka memilih jalan yang benar dan meninggalkan kelompok tersesat lainnya. Adapun dalil wajibnya kita bersatu, tidak boleh berpecah-belah dan bergolong-golongan.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” [Ali-Imran ; 103]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya Allah meridhoi kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara ; Dia meridhoi kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah” [HR Muslim : 3236]

BAGAIMANA AGAR UMAT ISLAM BERSATU?
Ayat dan hadits diatas menunjukkan cara untuk menyatukan umat Islam, yaitu kita harus kembali kepada tali Allah, sedangkan makna tali Allah ialah Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dijelaskan di dalam hadits.

“Kitab Allah adalah tali Allah yang menjulur dari langit ke bumi” [Lihat Silsilah As-Shahihah 5/37]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah termasuk tali Allah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya’ [HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]

Pada zaman sekarang umat Islam tidak cukup hanya bepegang kepada Al-Qur’an dan hadits yang shahih untuk menyatukan umat, karena ahli bid’ah pun mengaku berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka berselisih dan berpecah-belah, karena itu tidaklah umat Islam akan bersatu melainkan apabila di dalam berpegang kepada Al-Qur’an dan hadits yang shahih disertai dengan pemahaman salafush shalih, dari kalangan para sahabat, tabi’in dan ahli hadits, sebab jika tokoh umat memahami dalil nash dengan pemahaman salafush shalih niscaya mereka tidak akan berpecah belah walaupun mereka berselisih dalam suatu masalah, karena khilaf mereka jatuh pada masalah ijtihadiah.

Adapun dalil wajibnya kita memahami dalil nash dengan pemahaman salafush shalih adalah sebagai berikut.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]

Dalam ayat di atas Allah memuji sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik, yang sekarang dikenal dengan nama ahlus sunnah wal jama’ah atau pengikut as-salafush sholih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Maka barangsiapa yang menjumpai itu (perpecahan umat) hendaknya dia berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah ini dengan gigi geraham” [HR Tirmidzi 2600 dan lainnya dishahihkan Al-Albani lihat Silsilah As-Shahihah 6/610]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berpesan kepada umatnya agar berpegang kepada Sunnahnya saja, akan tetapi kepada Sunnah sahabat pula.

Dari Abu Burdah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Dan sahabatku adalah orang yang dapat dipercaya untuk umatku, maka jika mereka telah pergi, maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku” [HR Muslim 4596]

Imama Nawawi rahimahullah berkata : “Adapun makna “apa yang dijanjikan” yaitu munculnya bid’ah, perkara baru dalam urusan agama, dan munculnya fitnah” [Syarah Imam Muslim 16/83]

Selanjutnya orang yang menolak pemahaman para sahabat maka akan diancam menjadi orang yang tersesat.

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisa : 115]

Syaikh Al-Albani berkata : “Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa umat Islam pada zaman sekarang –kecuali sedikit di antara mereka- tatkala mereka tidak berpegang teguh dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tersesat dan hina, yang demikian itu karena mereka berpegang kepada pendapat pemimpin mereka.

Tatkala terjadi perselisihan, pendirian mereka pada dasarnya kembali kepada pemimpin mereka, jika ada ayat yang cocok, mereka ambil, jika tidak, mereka tolak. Bahkan sebagian mereka berkata : “Setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, maka dimansukh (dihapus)”. Semoga Allah merahmati Imam Malik rahimahullah, beliau berkata : “Dan tidak akan baik umat pada akhir zaman ini melainkan apabila mereka kembali sebagaimana ulama pertama memperbaiki umat” [Hajjatun Nabi 1/71]

Kesimpulannya para tokoh masyarakat hendaknya mengajak umat agar kembali kepada pemahaman salafush shalih tatkala mengambil dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar umat tetap bersatu dan tidak timbul perasaan benar sendiri dan menyalahkan orang benar.

Tokoh umatnya hendaknya hati-hati dalam memimpin umat jangan sampai menjadi penyebab kerusakan umat.

Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan” [HR Tirmidzi 2155 dishahihkan oleh Al-Albani Shahihul Jami’ 2316]

Tokoh umat hendaknya takut di hadapan pengadilan Allah pada saat pengikut mengadu pada hari kiamat. Baca surat Ibarhim : 21-22 dan surat Ghofir : 47-48, surat As-Saba : 31-33. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua, menjadi pemimpin yang mengajak umat kepada yang haq yang diridhoi oleh Allah Jalla Jala Luhu.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Th. Ke-7 1429/2008. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2326-nasehat-untuk-pendiri-organisai-jamaah-dan-partai.html

Share:

CLICK TV DAN RADIO SUNNAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

TV Sunnah

POPULAR


Cari